Quantcast
Channel: Deep Secret – Pasulukan Loka Gandasasmita
Viewing all 116 articles
Browse latest View live

Ghost Fleet versus Ghost Jiangshi

$
0
0

Ghost Fleet dan Ghost Jiangshi, sama-sama hantu. Yang satu dari Barat, satunya lagi dari Timur. Keduanya merasuki sistem kenegaraan NKRI yang sedang menderita “Demam Tinggi.”

Ghost Jiangshi, kita mungkin sering melihat hantu yang satu ini di film-film ala Mandarin yang sering diputar di bioskop dan televisi? Sosok hantu yang dikenal sebagai vampire atau zombie ‘melompat’ yang digambarkan sebagai mayat yang dihidupkan kembali dalam legenda cerita rakyat Cina.

Terlepas dari materi dan isi buku Ghost Fleet, karangan PW Singer, di sini justru sebaiknya kita bisa mengambil sebuah benang merah, keterkaitan antara ancaman perang global yang akan terjadi di masa depan dengan kedaulatan negeri kita sendiri.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Hendrajit, pengamat Geopolitik Nasional, apa yang disampaikan oleh PW Singer melalui Buku Novel Futuristiknya yang berjudul Ghost Fleet tersebut, Singer sedang menjalankan tugasnya sebagai bagian integral dari komunitas intelijen AS.

Melalui Novel Ghost Fleet, seolah Singer sedang bertugas sebagai agen pembentuk opini untuk menciptakan prakondisi ke arah polarisasi dua kutub alias bipolar. Yakni pecahnya perang AS versus Cina Rusia yang akan diwarnai oleh perkembangan teknologi canggih sebagai ciri perang masa depan (Hendrajit).

Hal ini bisa saja diikuti dengan keruntuhan sistemik sistem Kapitalisme yang selama ini merajai hegemoni kekuatan ekonomi dunia. Dan akan menataulang sistem Kapitalisme yang hari ini telah mereka anut.

Secara tidak langsung melalui buku Ghost Fleet, PW Singer telah memberikan warning kepada kita bahwa bila pecah perang. Perang friksi terbuka antara dua kutub AS vs China dan Rusia, maka tak menutup kemungkinan dampaknya bagaikan tsunami yang akan melanda semua negara yang menganut sistem Kapitalisme, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Mengingat Negeri ini penganut aliran Kapitalisme Barat sejak era 1967.

Adapun benang merah yang dapat kita tarik simpulnya dari ancaman “Keruntuhan” Kapitalisme Global akibat dari pecahnya perang friksi tersebut adalah perlunya kewaspadaan akan ancaman dari sistem Kapitalisme itu sendiri yang hari ini telah menggurita dalam tubuh negeri ini.

Seperti kita ketahui bersama bahwa Hegemoni Kapitalisme Global itu hari ini sesungguhnya telah meruntuhkan sendi-sendi kedaulatan Negeri ini melalui amandemen beberapa pasal undang-undang dasar negara kita.

Gurita Imperialis Kapitalis itu bagaikan “hantu” yang merasuki tubuh Negeri ini, sehingga siapapun yang duduk diatas kursi “panas” dalam jajaran Birokrasi, maka akan terasuki oleh “hantu” Kapitalisme tersebut.

Hantu Kapitalisme tersebut bagaikan Software yang memprogram seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Digambarkan oleh PW Singer software tersebut bagaikan “Hantu” Ghost Fleet yang mampu merasuki tubuh Negara.

Karena terasuki hantu, maka tak heran bila para Birokrat yang seharusnya menjadi Benteng negara dalam menghadapi Korporasi, namun malah larut dalam kebijakan Korporasi. Inilah pengaruh dari hipnotis dari kerasukan tersebut.

Dan celakanya lagi, Gurita Imperialisme modern yang tengah melanda Negara ini bukan hanya Kapitalisme Korporasi Barat ala “Ghost Fleet” yang tengah bersarang dalam negeri ini, namun adapula “Ghost Jiangshi” yang turut pula bersarang dalam sendi-sendi kehidupan negara ini.

Dalam bahasa gaulnya “Ghost Jiangshi” ini telah merangsek masuk seiring dengan kebijakan Presiden Cina Xi Jinping yang memilih Indonesia sebagai tempat untuk melaunching program Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 berupa kebijakan One Belt One Road (OBOR) yang bertujuan untuk menggabungkan seluruh negara-negara sepanjang Jalur Sutra ke dalam Imperium Cina Baru.

Dan inilah ancaman nyata yang sesungguhnya yang tengah terjadi dalam tubuh Negeri ini, namun sayangnya banyak yang belum memahami bahwa Imperialisme tersebut masih bercokol di Negeri ini. Yakni bukan hanya ancaman Ghost Fleet namun juga ancaman Ghost Jiangshi yang memiliki ciri dan karakternya sendiri dalam menghipnotis jajaran Birokrasi..

Salam…

  • Oleh: Abubakar Bamuzaham, Reseach Associate Global Future Institute.
  • Source: The Global Review

 


Hebat dan Jahatnya Kapitalisme oleh para Kapitalis

$
0
0

Sistem Ekonomi Kapitalisme telah mengajarkan bahwa pertumbuhan ekonomi hanya akan terwujud jika semua pelaku ekonomi terfokus pada akumulasi kapital (modal). Mereka lalu menciptakan sebuah mesin “penyedot uang” yang dikenal dengan lembaga perbankan.

Oleh lembaga ini, sisa-sisa uang di sektor rumah tangga yang tidak digunakan untuk konsumsi akan “disedot”. Lalu, siapakah yang akan memanfaatkan uang di bank tersebut?

Tentu mereka yang mampu memenuhi ketentuan pinjaman (kredit) dari bank. Yaitu fix return dan agunan.

Konsekuensinya, hanya pengusaha besar dan sehat sajalah yang akan mampu memenuhi ketentuan ini. Siapakah mereka itu? Mereka itu tidak lain adalah kaum kapitalis yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi.

Nah, apakah adanya lembaga perbankan ini sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa? Yaitu dengan pasar modal. Dengan pasar ini, para pengusaha cukup mencetak kertas-kertas saham untuk dijual kepada masyarakat, dengan iming-iming akan diberi deviden.

Siapakah yang memanfaatkan keberadaan pasar modal ini? Dengan persyaratan untuk menjadi emiten dan penilaian investor yang sangat ketat, lagi-lagi hanya perusahaan besar dan sehat saja yang akan dapat menjual sahamnya di pasar modal ini. Siapa mereka itu? Kaum kapitalis juga, yang sudah mempunyai perusahaan besar untuk menjadi lebih besar lagi.

Adanya tambahan pasar modal ini, apakah sudah cukup? Bagi kaum kapitalis tentu tidak ada kata cukup. Mereka ingin terus membesar. Dengan cara apa lagi? Cara selanjutnya yaitu dengan “memakan perusahaan kecil”. Bagaimana caranya?

Menurut Teori Karl Marx, dalam pasar Persaingan Bebas, ada Hukum Akumulasi Kapital (The Law Of Capital Accumulations), yaitu perusahaan besar akan “memakan” perusahaan kecil.

Contohnya, jika di suatu wilayah banyak terdapat toko kelontong yang kecil, maka cukup dibangun sebuah mal yang besar. Dengan itu toko-toko itu akan tutup dengan sendirinya.

Dengan apa perusahaan besar melakukan ekspansinya? Tentu dengan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal. Agar perusahaan kapitalis dapat lebih besar lagi, mereka harus mampu memenangkan persaingan pasar.

Persaingan Pasar hanya dapat dimenangkan oleh mereka yang dapat menjual produk-produknya dengan harga yang paling murah. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menguasai sumber-sumber bahan baku seperti pertambangan, bahan mineral, kehutanan, minyak bumi, gas, batubara, air, dan sebagainya.

Lantas, dengan cara apa perusahaan besar dapat menguasai bahan baku tersebut? Lagi-lagi, tentu saja dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika perusahaan kapitalis ingin lebih besar lagi, maka cara berikutnya adalah dengan “mencaplok” perusahaan milik negara (BUMN).

Kita sudah memahami bahwa perusahaan negara umumnya menguasai sektor-sektor publik yang sangat strategis. Seperti sektor telekomunikasi, transportasi, pelabuhan, keuangan, pendidikan, kesehatan, pertambangan, kehutanan, energi, dan sebagainya. Bisnis di sektor yang strategis tentu merupakan bisnis yang sangat menjanjikan, karena hampir tidak mungkin rugi. Lantas, bagaimana caranya?

Caranya adalah dengan mendorong munculnya Undang-Undang Privatisasi BUMN.

Dengan adanya jaminan dari UU ini, perusahaan kapitalis dapat dengan leluasa “mencaplok” satu per satu BUMN tersebut. Tentu tetap dengan dukungan permodalan dari dua lembaganya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika dengan cara ini kaum kapitalis sudah mulai bersinggungan dengan UU, maka sepak terjangnya tentu akan mulai banyak menemukan hambatan. Bagaimana cara mengatasinya? Caranya ternyata sangat mudah, yaitu dengan masuk ke sektor kekuasaan itu sendiri.

Kaum kapitalis harus menjadi penguasa, sekaligus tetap sebagai pengusaha. Untuk menjadi penguasa tentu membutuhkan modal yang besar, sebab biaya kampanye itu tidak murah. Bagi kaum kapitalis hal itu tentu tidak menjadi masalah, sebab permodalannya tetap akan didukung oleh dua lembaga sebelumnya, yaitu perbankan dan pasar modal.

Jika kaum kapitalis sudah melewati cara-cara ini, maka hegemoni (pengaruh) ekonomi di tingkat nasional hampir sepenuhnya terwujud. Hampir tidak ada problem yang berarti untuk dapat mengalahkan kekuatan hegemoni ini. Namun, apakah masalah dari kaum kapitalis sudah selesai sampai di sini?

Tentu saja belum. Ternyata Hegemoni Ekonomi di tingkat nasional saja belumlah cukup. Mereka justru akan menghadapi problem baru. Apa problemnya? Problemnya adalah terjadinya ekses (kelebihan) produksi.

Bagi perusahaan besar, yang produksinya terus membesar, jika produknya hanya dipasarkan di dalam negeri saja, tentu semakin lama akan semakin kehabisan konsumen. Lantas, ke mana mereka harus memasarkan kelebihan produksinya?

Dari sinilah akan muncul cara-cara berikutnya, yaitu dengan melakukan hegemoni di tingkat dunia. Caranya adalah dengan membuka pasar di negara-negara miskin dan berkembang, yang padat penduduknya.

Teknisnya adalah dengan menciptakan organisasi perdagangan dunia (WTO), yang mau tunduk pada ketentuan perjanjian perdagangan bebas dunia (GATT). Sehingga semua negara anggotanya akan mau membuka pasarnya tanpa halangan tarif bea masuk maupun ketentuan kuota impornya (bebas proteksi).

Dengan adanya WTO dan GATT tersebut, kaum kapitalis dunia akan dengan leluasa dapat memasarkan kelebihan produknya di negara-negara “jajahan”nya.

Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaga andalannya, yaitu perbankan dan pasar modal. Jika kapitalis dunia ingin lebih besar lagi, maka caranya tidak hanya cukup dengan mengekspor kelebihan produksinya. Mereka harus membuka perusahaannya di negara-negara yang menjadi obyek ekspornya.

Yaitu dengan membuka Multi National Coorporations (MNC) atau perusahaan lintas negara, di negara-negara sasarannya. Dengan membuka langsung perusahaan di negara tempat pemasarannya, mereka akan mampu menjual produknya dengan harga yang jauh lebih murah.

Strategi ini juga sekaligus dapat menangkal kemungkinan munculnya industri-industri lokal yang berpotensi menjadi pesaingnya. Untuk mewujudkan ekspansinya ini, perusahaan Kapitalis dunia tentu akan tetap didukung dengan permodalan dari dua lembaganya, yaitu Perbankan dan Pasar Modal.

Apakah dengan membuka MNC sudah cukup? Jawabnya tentu saja belum. Masih ada peluang untuk menjadi semakin besar lagi. Caranya? Yaitu dengan menguasai sumber-sumber bahan baku yang ada di negara tersebut.

Untuk melancarkan jalannya ini, Kapitalis dunia harus mampu mendikte lahirnya berbagai UU yang mampu menjamin agar perusahaan asing dapat menguasai sepenuhnya sumber bahan baku tersebut. Contoh yang terjadi di Indonesia adalah lahirnya UU Penanaman Modal Asing (PMA), yang memberikan jaminan bagi perusahaan asing untuk menguasai lahan di Indonesia sampai 95 tahun lamanya (itu pun masih bisa diperpanjang lagi).

Contoh UU lain, yang akan menjamin kebebasan bagi perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan SDA Indonesia adalah UU Minerba, UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya.

Menguasai SDA saja tentu belum cukup bagi kapitalis dunia. Mereka ingin lebih dari itu. Dengan cara apa? Yaitu dengan menjadikan harga bahan baku lokal menjadi semakin murah. Teknisnya adalah dengan menjatuhkan nilai Kurs Mata Uang lokalnya. Untuk mewujudkan keinginannya ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah pemberlakuan Sistem Kurs Mengambang Bebas (Floating Rate) bagi mata uang lokal tersebut.

Jika nilai kurs mata uang lokal tidak boleh ditetapkan oleh Pemerintah, lantas lembaga apa yang akan berperan dalam penentuan nilai kurs tersebut? Jawabannya adalah dengan Pasar Valuta Asing (valas). Jika negara tersebut sudah membuka Pasar Valasnya, maka kapitalis dunia akan lebih leluasa untuk “mempermainkan” nilai kurs mata uang lokal, sesuai dengan kehendaknya. Jika nilai kurs mata uang lokal sudah jatuh, maka harga bahan-bahan baku lokal dijamin akan menjadi murah, kalau dibeli dengan mata uang mereka. Jika ingin lebih besar lagi, ternyata masih ada cara selanjutnya.

Cara selanjutnya adalah dengan menjadikan upah tenaga kerja lokal bisa menjadi semakin murah. Bagaimana caranya? Yaitu dengan melakukan proses Liberalisasi Pendidikan di negara tersebut. Teknisnya adalah dengan melakukan intervesi terhadap UU Pendidikan Nasionalnya. Jika penyelenggaraan pendidikan sudah diliberalisasi, berarti pemerintah sudah tidak bertanggung jawab untuk memberikan Subsidi bagi pendidikannya.

Hal ini tentu akan menyebabkan biaya pendidikan akan semakin mahal, khususnya untuk pendidikan di perguruan tinggi. Akibatnya, banyak pemuda yang tidak mampu melanjutkan studinya di perguruan tinggi. Keadaan ini akan dimanfaatkan dengan mendorong dibukanya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebanyak-banyaknya. Dengan sekolah ini tentu diharapkan akan banyak melahirkan anak didik yang sangat terampil, penurut, sekaligus mau digaji rendah.

Hal ini tentu lebih menguntungkan, jika dibanding dengan mempekerjakan Sarjana. Sarjana biasanya tidak terampil, terlalu banyak bicara, dan maunya digaji tinggi.

Sebagaimana telah diuraikan di atas, cara-cara Hegemoni Kapitalis dunia di negara lain ternyata banyak mengunakan Intervesi UU. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan, kecuali harus dilengkapi dengan cara yang lain lagi.

Nah, cara inilah yang akan menjamin proses Intervensi UU akan dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana caranya? Caranya adalah dengan menempatkan Penguasa Boneka. Penguasa yang terpilih di negara tersebut harus mau tunduk dan patuh terhadap keinginan dari kaum Kapitalis dunia. Bagaimana strateginya? Strateginya adalah dengan memberikan berbagai sarana bagi mereka yang mau menjadi Boneka.

Sarana tersebut, mulai dari bantuan dana kampanye, publikasi media, manipulasi lembaga survey, hingga intervesi pada sistem perhitungan suara pada Komisi Pemilihan Umumnya. Nah, apakah ini sudah cukup? Tentu saja belum cukup. Mereka tetap saja akan menghadapi problem yang baru. Apa problemnya? Jika Hegemoni kaum Kapitalis terhadap negara-negara tertentu sudah sukses, maka akan memunculkan problem baru. Problemnya adalah “mati”-nya negara jajahan tersebut.

Bagi sebuah negara yang telah sukses dihegemoni, maka rakyat di negara tersebut akan semakin miskin dan melarat. Keadaan ini tentu akan menjadi ancaman bagi kaum Kapitalis itu sendiri. Mengapa? Jika penduduk suatu negeri itu jatuh miskin, maka hal itu akan menjadi problem pemasaran bagi produk-produk mereka.

Siapa yang harus membeli produk mereka jika rakyatnya miskin semua? Di sinilah diperlukan cara berikutnya. Agar rakyat negara miskin tetap memiliki daya beli, maka kaum kapitalis dunia perlu mengembangkan Non Government Organizations (NGO) atau LSM.

Tujuan pendirian NGO ini adalah untuk melakukan Pengembangan Masyarakat (community development), yaitu pemberian pendampingan pada masyarakat agar bisa mengembangkan industri-industri level rumahan (home industry), seperti kerajinan tradisionil, maupun industri kreatif lainnya. Masyarakat harus tetap berproduksi (walaupun skala kecil), agar tetap memiliki penghasilan.

Agar operasi NGO ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diperlukan dukungan dana yang tidak sedikit. Kaum Kapitalis dunia akan senantiasa men-support sepenuhnya kegiatan NGO ini. Jika proses pendampingan masyarakat ini berhasil, maka kaum kapitalis dunia akan memiliki tiga keuntungan sekaligus, yaitu :

(1) Masyarakat akan tetap memiliki daya beli, (2) akan memutus peran pemerintah dan yang terpenting adalah, (3) negara jajahannya tidak akan menjadi negara industri besar untuk selamanya.

Sampai di titik ini Kapitalisme dunia tentu akan mencapai tingkat kejayaan yang nyaris “sempurna”. Apakah kaum kapitalis sudah tidak memiliki hambatan lagi? Jawabnya ternyata masih ada. Apa itu? Ancaman Krisis Ekonomi.

Sejarah panjang telah membuktikan bahwa Ekonomi Kapitalisme ternyata menjadi pelanggan yang setia terhadap terjadinya Krisis ini. Namun demikian, bukan berarti mereka tidak memiliki solusi untuk mengatasinya. Mereka masih memiliki jurus pamungkasnya. Apa itu? Ternyata sangat sederhana.

Kaum kapitalis cukup “memaksa” pemerintah untuk memberikan talangan (bail-out) atau Stimulus Ekonomi. Dananya berasal dari mana? Tentu akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagaimana kita pahami bahwa sumber pendapatan negara adalah berasal dari Pajak rakyat.

Dengan demikian, jika terjadi Krisis Ekonomi, siapa yang harus menanggung bebannya? Jawabnya adalah:

Rakyat, melalui pembayaran pajak yang akan terus dinaikkan besarannya, maupun jenis-jenisnya. Bagaimana hasil akhir dari semua ini? Kaum Kapitalis akan tetap jaya, dan rakyat selamanya akan tetap menderita.

Di manapun negaranya, nasib rakyat akan tetap sama. Itulah produk dari Hegemoni Kapitalisme Dunia.

Jihad, G-WOT dan Humanisme

$
0
0

Dalam sebuah forum internasional “Transnational Islamic Movements; Network, Structure and Threat Assessment“, saya berkesempatan bertemu dengan pakar-pakar peneliti dan pengamat gerakan Islam dari berbagai belahan dunia.

Mereka adalah Mateen Siddiqui, wakil presiden ISCA (The Islamic Supreme Council of America-al-Majlis Al-Islami al-Syar’i al-A’la Fi Amerika), sebuah lembaga yang didedikasikan ”Promoting tolerance and moderation in Islam”. Mateen ”tampil beda” di forum tersebut lengkap dengan ”tsaqafah” jenggot lebatnya dan kopyah putih yang menambah kewibawaannya sebagai pengamal thariqah dibawah mursyid Syeikh Muhammad Hisnam Kabbani. Hadir juga sang penulis buku ”Inside Al-Qaeda”, Dr. Rohan Gunaratna yang juga peneliti senior pada Center for Study of Terrorism and Political Violence di Universitas St. Andrews dan International Policy Institute for Terrorism, Israel. Pakar-pakar level internasional lainnya yang berkesempatan hadir adalah Prof. Dr. Greg Fealy dari ANU (Australian National University) Canberra, Prof. Dr. Zachary Abuza, seorang guru besar dari Simmons College Boston yang memiliki keahlian dalam penelitian ”Terrorist Fundraising” dan hadir juga intelektual dan mantan Duta Besar Pakistan untuk Srilanka Prof. Dr. Hussein Haqqani yang pada tahun 2005 meluncurkan buku berjudul ”Pakistan between Mosque and Military”.

Disela-sela Coffee Break, saya sempatkan untuk berbincang dengan Hussein Haqqani dengan memunculkan beberapa diskursus tentang politik Islam yang memang sangat urgen untuk dipertanyakan kepada beliau yang pernah menjadi Penasehat tiga Perdana Menteri Pakistan yaitu Ghulam Musthofa Jatoi, Nawas Syarif dan Benazir Bhutto. Dalam keyakinan saya–yang pernah mengadakan penelitian gerakan Islam Internasional–Hussein adalah orang yang sangat tahu dan saksi penting–meski bukan saksi kunci–dari sebuah perselingkuhan politik–agama yang didesain bersama oleh AS, Pakistan dan Saudi Arabia. Ketika Husein Haqqani menjadi penasehat PM Pakistan, terjadi mobilisasi mujahidin internasional di Peshawar yang menjadi embrio dari ”The Virtual University for Future Islamic Radicalism”. Saya pertanyakan kepada Husein–yang masa mudanya aktif sebagai anggota Jama’ate Islami-nya Maududi–tentang bagaimana sebenarnya desain Jenderal hamed Gull (Kepala Intelijen Pakistan-Interservice Intelligence, ISI) yang menginginkan sebuah ”International Islamic Front” untuk mengimbangi kekuatan NATO dan Pakta Warsawa. Hussein Haqqani, profesor di Universitas Boston, terlihat sangat kaget dengan pertanyaan tersebut terutama ketika saya menyebut nama Hameed Gull yang punya hubungan dekat dengan W.J.Casey (CIA). Jawaban Hussein hanya dengan ”bahasa tertawa” dan saya sudah cukup paham dengan jawaban bahasa tubuh tersebut. Hussein menyadari bahwa memang pernah terjadi sebuah even besar di Pakistan yang dampaknya sekarang mendiaspora ke seluruh kawasan benua.

Dalam penelitian saya yang tertuang dalam buku ”Negara Tuhan; The Thematic Encyclopaedia” memang mengarah pada kesimpulan bahwa ada keterlibatan operasi intelijen dalam skandal Peshawar dalam memobilisasi radikalisme internasional untuk melawan Uni Soviet, yaitu intelijen Saudi Arabia dengan komandan Pangeran Turki al-Faisal yang punya hubungan dekat dengan Usamah bin Laden, CIA yang dimonitori oleh William Joseph Casey dan juga MI-6 (Millitary Intelligence Sextion Six) Inggris dan ISI (Interservice Inteligence) Pakistan dibawah komando Jenderal Hameed Gull dan kemudian Jenderal Akhtar Abdurrahman.

Kutipan berbahasa Arab diawal kata pengantar ini merupakan ungkapan jujur dari Richard A. Clarke, sebagai ”orang dalam” gedung putih dengan jabatan penasehat US National Security. Clarke mengungkapkan kejujurannya dalam menanggapi ”terrible job”nya Bush dalam sebuah karya monumentalnya yang bertitelkan ”Against All Enemies; Inside America’s War on Terror” yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”Fi Muwajahati Jami’i al-A’da; Min Dakhil Kharbi Amerika ala al-Irhab”. Dalam kutipan dimuka, Clarke membeberkan bagaimana operasi rahasia dalam pemerintahan Presiden Reagan, yang ketika itu CIA dikomandani oleh Casey, menggelontorkan berjuta-juta dollar untuk mendukung dan menumbuhsuburkan jejaring radikalisme militan internasional untuk mengakhiri sejarah ”the Red Peril” Uni Soviet. Clarke juga membuka rahasia bahwa pada tanggal 12 September 2001 sehari setelah tragedi WTC, dia dipanggil mendadak oleh Presiden Bush dan diperintahkan untuk mencari bukti keterlibatan Saddam Hussein dalam serangan tersebut. Namun Clarke dengan nyali besarnya menulis laporan resmi kepada Presiden Bush bahwa ”tidak ada bukti sama sekali yang mengarah pada keterkaitan Saddam Hussein dengan serangan WTC tersebut” dan laporan Clarke ini juga ditandatangani oleh CIA dan FBI. Akan tetapi laporan tersebut karena tidak sesuai dengan keinginan Bush dikembalikan lagi kepada Clarke dan diberi sebuah catatan yang berbunyi ” Please Update and Resubmit”.

Pasca 11/9, bermilyar-milyar huruf disusun dan bermilyar kata dirangkai untuk mendiskusikan tragedi kemanusiaan tersebut dan salah satunya adalah ”Againts All Enemies” tersebut. Dari sekian banyak karya, terdapat satu buku yang paling menohok jantung pertahanan Amerika yaitu sebuah tulisan mantan Menteri Teknologi Jerman Andreas von Bulow bertitelkan Die CIA und der 11 September yang diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dengan judul CIA and September 11. Von Bulow yang pernah menjadi kepala divisi intelijen di Komite Parlemen Jerman ini memaparkan secara gamblang tentang apa yang sebenarnya terjadi dibelakang layar tragedi WTC 11/9 tersebut. Buku yang lengkap memuat daftar nama para pembajak, crew dan penumpang pesawat tersebut menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa Amerika dan CIA-nya terlibat dalam terjadinya tragedi kemanusiaan tersebut.

Buku Von Bulow yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul ”CIA wa Dauruha Fi Ahdas 11/9, Al-Irhab al-Duwali wa Daur Ajhihati al-Mukhabarat” juga memaparkan sebuah bukti perselingkuhan agama-politik yaitu keberadaan Usamah bin Laden yang pernah melaporkan kepada CIA bahwa pasukan militan multinasional dari 46 negara telah siap mengakhiri riwayat negara Uni Soviet. Dalam sub bab tersendiri, Von Bulow juga melayangkan kritik pedasnya kepada sang think-tank legendaris AS, Zbigniew Brzezinski yang mempunyai andil besar dalam memberikan masukan-masukan kepada pemerintah Amerika.

Zbigniew Brzezinski pada tahun 1997 pernah memunculkan buku penting yang merupakan panduan perselingkuhan As-Islam Fundamentalis berjudul ”The Grand Chess Board; American Primary and It’s Geostrategic Imperative” yang edisi Timur Tengahnya digarap oleh Amel al-Syarqy dengan judul ”Riq’ah al-Satranji al-Kubra; al- Usuliyyah al-Amerikiyyah wa Mutatallibatuha al-Jeostratejiyyah”. Buku Zbig ini menjadi buku wajib dan pegangan pokok bagi komunitas neokonservatif Amerika (al-Usuliyyah al-Amerikiyyah).

 

 

Memaknai Serangan Militer Barat ke Suriah

$
0
0

Dari perspektif geopolitik, konflik antarmazhab dalam agama (terutama pasca Perang Dingin) dinilai efektif bahkan dianggap menu terlezat dalam rangka memporak-porandakan dan/atau melemahkan daya tahan kedaulatan negara-negara melalui civil war (perang sipil) di Timur Tengah, selain paket DHL (demokrasi, HAM dan lingkungan hidup) misalnya, atau isu pemimpin tirani, isu korupsi, senjata kimia dan lain-lain. Kontra narasi atas hal tersebut sebenarnya sederhana, bahwa tak ada lagi perang agama di dunia modern melainkan karena faktor (geo) ekonomi. Itu clue geopolitik. Bahwa konflik agama, isu sektarian dan isu-isu hilir lainnya, sejatinya cuma dalih, atau bahasa kerennya: geostrategi belaka!

Dan serangan militer secara terbuka terhadap Suriah oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutu pada 14 April 2018 merupakan bukti keadaan (circumstance evidence) bahwa geostrategi Barat selama ini —semenjak 2011— melalui modus proxy war (perang perwalian), terbukti gagal.

Ketika medan tempur di Suriah sudah menginjak ke peperangan terbuka, pertanyaannya adalah, apa lagi peran Jabhat al Nusra, atau ISIS, dan lain-lain dalam konflik Suriah kini dan kedepan? Jawabannya: “Nihil.” Sekali lagi, nihil. Dengan kata lain, peran yang dimainkan (role playing) selama ini dianggap selesai karena fungsi dan tugasnya telah diambil-alih oleh sang “Tuan,” pemilik hajatan.

Jadi, apakah yang diperebutkan dan dicari selama ini? Tesis Deep Stoad yang bisa dijadikan clue adalah: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil” (Bila ingin memahami geopolitik, ikuti aliran minyak). Kenapa? Karena disitulah simpul-simpul para adidaya bertemu, bersinergi bahkan kerap beradu-kuat. Itulah kontribusi strategis Stoad terhadap dunia geopolitik. Dan hingga kini, tesis tersebut belum ada antitesanya. Asumsi Henry Kissinger pun sifatnya menebalkan tesis Stoad, yaitu control oil and you control nation, control food and you control the people (kuasai minyak anda akan mengendalikan negara, kendalikan pangan anda akan menguasai rakyat). Inilah inti geoekonomi yang menjadi titik target geopolitik dimanapun, sampai kapanpun.

Suriah Punya Apa?

Tak boleh dipungkiri, berlarutnya konflik Suriah hampir delapan tahunan akibat kegagalan Arab Spring, yakni modus kolonialisme Barat melalui pintu perang asimetris (nirmiliter) yang melanda Tunisia, Yaman, Mesir, dan lain-lain termasuk Libya beberapa tahun lalu. Dan perlu disadari bahwa negara-negara dimaksud (target Arab Spring) sesungguhnya berada di lintasan Jalur Sutra (Silk Road), rute perdagangan/ekonomi sekaligus jalur militer dunia yang melegenda sejak Abad ke-3 dimana terbentang antara perbatasan Cina dan Rusia hingga ke Maroko. The silk road, selain dinilai “jalur basah” bagi kaum kapitalis global karena melimpahnya hydro carbon terutama emas, minyak dan gas, ia juga dianggap jalur strategis dunia karena membentang di antara Dunia Barat dan Dunia Timur. Siapa menguasai jalur tersebut maka identik menguasai dunia.

Selanjutnya, kenapa Suriah menjadi ajang rebutan antara para adidaya Barat (AS cs) versus adidaya Timur (Rusia – Cina, dkk), antara lain disebabkan:

Pertama, faktor geoposisi Suriah berada di pertengaham simpul Jalur Sutra. Ke utara menuju Eropa, ke selatan menuju Afrika Utara. Dengan kata lain, menguasai Suriah identik telah menguasai separuhnya. Separuh dari Jalur Sutra;

Kedua, faktor geopolitics pipeline. Tak boleh disangkal, bahwa akibat geoposisi yang strategis tersebut, Suriah itu dilalui banyak pipa minyak dan gas yang sifatnya lintas negara bahkan antarbenua. Setiap hari, berapa juta barel dari berbagai negara menuju negara lain yang melintasi Suriah? Menurut salah satu sumber Global Future Institute (GFI) di Jakarta, pemerintah Suriah mengutip sekitar $5/barel. “Uang jago” atau fee. Berapa juta barel setiap harinya melintas Suriah? Dan boleh jadi, APBN Suriah selama ini barangkali didominasi dari kontributor sektor fee pipanisasi.

Beberapa sesi diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI), Jakarta, dimentori oleh Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan, tercatat pointer bahwa conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Singkat kata, konflik hanya untuk melindungi aliran minyak (dan gas). Hal ini sejalan dengan asumsi yang dibangun oleh Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, “Bahwa mapping konflik dari model kolonisasi yang dikembangkan oleh Barat, hampir dipastikan segaris/satu rute bahkan pararel dengan jalur SDA terutama bagi wilayah yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam.”

Menyoal lebih dalam tentang geopolitic of pipeline di Suriah, menurut Dirgo, meski ada fee $5/barel untuk aliran minyak pada pipanisasi, akan tetapi fee tadi tidak dinikmati oleh Suriah sendiri. Kenapa? Karena outlet pipanisasi yang ke Afrika Utara berada di Israel dan outlet jalur pipa ke Eropa ada di Ceyhan, Turki. Artinya ada sharing ketiganya.

Banyak faktor mengkaji motif serangan militer AS dan sekutu ke Suriah. Beberapa analisa mengatakan bahwa kronologi acaranya mirip Taliban yang disingkirkan karena menuntut terlalu banyak atas pipanisasi Unocal di Afghanistan. Maka simpulan prematurnya adalah, bahwa sepertinya Bashar al Assad hendak disamakan “nasib”-nya dengan Taliban yang harus dilenyapkan karena bandel, dan Assad dianggap rezim yang tidak mau didekte oleh Barat.

Lebih detail perihal pipanisasi minyak dan gas di Suriah, dari mana – kemana, berapa kilometer, besarnya investasi serta sejak kapan beroperasi, silahkan baca buku Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru pada Bab V halaman 195 – 210. Untuk menyingkat catatan ini, ada analogi yang bisa dijadikan clue guna memaknai serangan militer Barat ke Suriah, yaitu ketika AS diterjang krisis akut (great depression) dekade 1930-an tempo doeloe maka ketika diletuskan Perang Dunia ke-2, ekonomi Paman Sam kembali pulih. Hipotesanya adalah, apakah serangan militer Barat ke Suriah merupakan indikasi bahwa sesungguhnya AS tengah dirundung krisis ekonomi teramat akut?

Mengakhiri catatan ini, saya teringat tesis Bung Karno (1959), “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”. Terima kasih

  • Oleh: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

Di Balik KTT Kim-Trump, Sebuah Analisis Intelijen

$
0
0

Pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di kawasan Resort Sentosa Singapura pada hari Selasa (12/6/2018) menjadi berita sangat penting yang diliput 2.500 kuli tinta seluruh dunia. KTT dua Negara itu menyangkut keselamatan dunia dari kemungkinan perang nuklir yang akan mematikan jutaan umat manusia.

Menariknya, diplomasi bilateral tersebut adalah sebuah negosiasi yang tidak mengikuti pedoman yang dikenal, karena pada awalnya sangat mengkhawatirkan, implikasinya akan berbahaya. Dua orang pemimpin itu dikenal unik serta keras kepala. Kim berusia 34 tahun, berani dan tidak kenal takut, sementara Trump berusia 71 tahun, temperamental, sering merubah keputusannya tanpa beban. keduanya hidup pada peradaban yang sangat berbeda. KTT menjadi menarik, kedua tokoh eksentrik itu yang akhirnya datang bersama-sama ke Singapura, tersenyum dan berfoto ria mencoba mencari kesepakatan yang berbeda dari para pendahulu mereka. Masyarakat dunia pada enam bulan lalu sangat takut, dimana Kim tanpa rasa takut mengatakan akan menyerang AS serta sekutunya di Asia Pasifik dengan senjata nuklir dan kimia sementara dilain sisi Trump mengancam akan ‘membumihanguskan Korea Utara jika berani mengancam AS’.

Apabila hasil kesepakatan kedua Negara terlaksana seperti yang direncanakan, maka selain Amerika, Korea Utara, negara-negara di kawasan Laut China Selatan juga akan mendapat keuntungan bersama karena akan terselamatkan dari kemungkinan dari Perang dunia ketiga yang bisa menghancur leburkan dunia. Pemerintah Singapura dengan cerdik mengeluarkan kocek sebagai tuan rumah KTT sebesar US 15 juta dolar, selain bertanggung jawab terhadap keamanan kedua pemain utama tersebut. Kecerdikan Singapura terbayar, sebagai Negara yang dinilai aman, tidak ada gangguan sekecil apapun terhadap kelangsungan KTT.

Menlu AS, Mike Pompeo, mantan Direktur CIA menjadi arsitek KTT (Foto : CNBC)
 

Ketika kedua pemimpin bertemu, kapal perang AL Singapura disiagakan penuh, helicopter tempur Apache RSAF terus berpatroli, sementara beberapa jet tempur dan Pesawat Early Warning Gulfstream 550 terus beroperasi. Pemerintah Singapura telah mengubah negara kota yang futuristik tersebut menjadi panggung raksasa bagi Trump dan Kim yang memang butuh popularitas bagi kepentingan keduanya baik di dunia internasional maupun di dalam negeri masing-masing. Nah, mari kita bahas dari sudut pandang intelijen.

Perkembangan Yang Diperhitungkan AS 

Dari sejarah Korea Utara, Kim Il-sung, sebagai presiden pertama Korea Utara adalah satu-satunya yang mampu mempertahankan gelar sebagai Presiden Abadi bahkan setelah kematiannya. Kim Jong-il sebagai generasi penerusnya, memegang tiga posisi utama negara itu yaitu Ketua Komisi Pertahanan Nasional, Sekjen Partai Buruh dan Panglima Tertinggi Tentara Rakyat Korea. Menurut konstitusi, jabatan terpenting di Korea Utara yang membuat seseorang sangat berkuasa adalah sebagai Ketua Komisi Pertahanan Nasional. Sejak ayahnya meninggal, Kim Jong Un ditasbihkan oleh para pejabat dan media sebagai “Great Successor, Supreme Leader and Great Leader.” Kini dia melengapi kekuasaan menjadi Panglima Tertinggi yang berkuasa atas militer.

Upaya Korea Utara untuk memiliki senjata nuklir dengan rudal balistik adalah prioritas kebijakannya untuk melawan AS serta sekutunya. Kim Jong Un yang dijuluki warga China sebagai “Fatty Kim The Third” menerapkan konsep deterrence untuk mempertahankan diri agar tidak diserang oleh AS.

Jarak jangkau Rudal Korea Utara, memang menakutkan (Foto : Quora)
 

Selama empat tahun berkuasa, Jong-Un telah melakukan pengujian 66 buah peluru kendali (rudal) dua kali lebih banyak dibandingkan yang dikerjakan ayahnya Kim Jong-il yang memerintah selama 17 tahun. Disamping itu jarak jangkauan rudal terus ditingkatkan. Korea Utara diketahui mampu membuat miniatur senjata nuklir yang kini diperkirakan siap ditembakkan dengan warhead 10 hingga 16 bom nuklir. Tercatat, Kim Jong-un padahari Jumat (29/03/2013) memerintahkan persiapan serangan rudal ke pangkalan militer AS, menyusul aksi latihan militer bersama AS dan Korsel, yang menghadirkan pesawat pembom siluman B-2. Hal ini bukanlah ancaman “perang” pertama yang dilontarkan Korut, semenjak negara itu dikenai sanksi internasional akibat uji coba nuklirnya. Korut menyatakan kini atau besok akan menyerang AS dengan menggunakan peluru kendali nuklir yang lebih kecil, lebih ringan dan beragam.

Korea Utara memiliki empat jenis rudal yang berbeda. Rudal Scud memiliki jarak jangkau 500 mil, yang bisa mencapai Jepang, rudal ‘Nodong’ mampu mencapai target baik di China atau Asia Tenggara. Rudal ‘Musudan’ memiliki jarak 2.500 mil dan bisa mencapai India sementara rudal ‘Taepodong’ dengan jarak jangkau 5.000 mil, bahkan bisa mencapai Skotlandia, Alaska, dan Kanada. Dengan suksesnya Korea Utara meluncurkan roket Unha-3 yang mampu mengirimkan satelit Kwangmyongsong-3 (kedua kali setelah yang pertama gagal) di orbit ruang angkasa, Korea Utara cepat atau lambat akan masuk dalam ICBM Club bersama AS, Rusia, dan China. Unha-3 yang diluncurkan Korea Utara pada hari Rabu (12/12) tersebut, menurut teori apabila dipersamakan dengan ICBM, dapat menjangkau jarak sekitar 8.000 hingga 10.000 kilometer (4.970 sampai 6.210 mil). Rudal Unha-3 ini dapat menjangkau Hawaii dan pantai barat laut daratan Amerika.

Korea Utara menyatakan telah melakukan lima uji coba nuklir yang berhasil pada tahun 2009, 2013 serta Januari dan September 2016. Uji coba pada September 2016 dilaporkan berkekuatan antara 10 dan 30 kiloton, yang dikonfirmasi oleh intelijen AS sebagai uji coba yang terkuat. Masyarakat Barat tidak jelas, yang sedang diuji bom atom atau bom hydrogen. Pihak Korea Utara mengklaim uji coba pada bulan Januari 2016 adalah bom hidrogen.

Militer Korea Utara siap untuk menyerang Korea Selatan (foto : PressTV)
 

Intelijen AS dan Korea Selatan pernah melaporkan bahwa Kim Jong-Un memiliki rencana perang barunya dengan ambisinya sendiri berupa invasi serangan militer ke Korea Selatan dalam waktu seminggu. Konsep akan dilaksanakan dengan menggunakan kemampuan serangan asimetris (termasuk senjata nuklir dan rudal). Tujuannya menyatukan kedua Korea di bawah pemerintahan Pyongyang dengan ideologi komunis. Korea Utara kini menyatakan siap perang, dimana sebuah konflik termonuklir dapat terjadi kapan saja.

Kementerian Pertahanan Korsel menyatakan dalam laporannya, bahwa Korut mulai memproduksi senjata kimia pada tahun 1980-an dan diperkirakan memiliki sekitar 2.500 ton hingga 5.000 ton persediaan senjata kimia, termasuk gas saraf VX, seperti yang digunakan untuk membunuh Kim Jong Nam saudara tiri Kim Jong Un di Bandara Sepang Malaysia.

Sebanyak 600 rudal Scud dengan chemical warhead akan ditembakkan ke semua bandara, stasiun kereta api dan pelabuhan laut Korea Selatan, sehingga tidak mungkin warga sipil melarikan diri,” Korea Utara mungkin melakukan serangan dengan rudal jarak menengah dengan senjata kimia dan meluncurkannya ke basis di Jepang dan militer AS, yang akan membendung aliran bala bantuan langsung ke Korea Selatan.

Pada tahun 2015, diketahui AS pernah mengadopsi rencana perang baru, OPLAN 5015, yang mencakup serangan terhadap fasilitas nuklir dan rudal Korea Utara, serta “serangan pemenggalan kepala” terhadap Kim Jong-Un dan seluruh pemimpin Korea Utara. Disamping itu, Korea Selatan juga mengembangkan rencana serangan (pre-emptive strike) sendiri. Rencana tersebut dan telah diakuisisi oleh pejabat AS dan Korea yang menegaskan bahwa mereka memiliki senjata yang mampu menghancurkan beberapa senjata pemusnah massal Korea Utara. Untuk pertahanan, Seoul juga telah membangun sebuah sistem pertahanan THAAD yang rumit dukungan dari AS yang mampu menembak rudal musuh pada ketinggian.

OPLAN 5015, adalah konsep serangan terhadap Korea Utara (foto : steemit)
 

Para pemerhati militer jelas khawatir apabila perang Korea jilid kedua pecah, korban akan banyak jatuh. Melihat dari sejarah, akibat dari perang Korea, yang berlangsung dari tahun 1950 sampai 1953, dengan teknologi persenjataan yang sudah tua saja, korban yang jatuh demikian banyak. Sekitar 2,7 juta orang Korea kedua belah pihak tewas, bersama dengan 33.000 orang Amerika dan 800.000 orang WN China. Perang masa kini apabila meletus, pada first strike korban yang akan jatuh diramalkan sebanyak satu juta jiwa. Kondisi politik  panas beberapa waktu terakhir jelas membuat rasa tidak tenang baik masyarakat Korea Selatan, Jepang, AS dan bahkan Negara sekitarnya..

Korea Utara kini jelas tidak sama seperti masa lalu, teknologinya sudah semakin maju. Baik kualitas maupun kwantitas alutsistanya yang terus bertambah baik dan banyak , tetapi yang jelas dan tidak berubah adalah militansi dan fanatisme rakyat terhadap kedaulatan dan kesetiaan terhadap dinasti dan negaranya. Korea Utara adalah satu-satunya negara yang hingga kini masih tetap menutup diri, menolak dan menentang faham demokrasi. Rakyatnya miskin dan hidup dalam tekanan dan kesetiaan antara hidup mati kepada rezim. Perekonomiannya dikendalikan secara terpusat, warganya tidak memiliki akses ke media eksternal dan tidak memiliki hak istimewa, tidak ada kebebasan untuk bepergian ke luar negeri. Dengan adanya embargo ekonomi oleh AS dan PBB, kondisi rakyatnya semakin menderita.

Badan Intelijen AS Sebagai Ujung Tombak

Pemerintah AS, dalam menilai ancaman nasional (national threat) serta kepentingan nasionalnya memainkan peran intelijen yang diorganisir dalam lima prioritas yaitu, memerangi terorisme , menghentikan penyebaran senjata nuklir dan konvensional lainnya , menginformasikan para pemimpin AS tentang peristiwa penting di luar negeri , menangkal spionase asing , dan melaksanakan operasi cyber. Setelah serangan 11 September 2001, pemerintah AS telah menghabiskan anggaran sebesar USD 500 milyard dimana dikatakan bahwa AS berhasil menangkal ancaman teroris. Dan hasilnya menurut data Snowden pembelot dari NSA/CIA adalah terbentuknya kekaisaran intelijen,

Badan Intelijen AS mendapat black budget sebesar 53,6 milyar dolar (2013), dimana CIA, NSA dan NRO (National Reconnaissance Office) menerima lebih dari 68 persen dari black budget tersebut. Sementara The National Geospatial-Intelligence Program’s (NGP) telah berkembang lebih dari 100 persen sejak tahun 2004. CIA dan NSA secara agresif melakukan hack ke jaringan komputer asing untuk mencuri informasi atau melakukan sabotase sistem musuh, menggunakan anggaran yang disebut sebagai “ operasi cyber yang ofensif .” Central Intelligence Agency (CIA) bertugas, mengumpulkan, menganalisis, mengevaluasi kegiatan intelijen di luar negeri serta melakukan operasi rahasia. Pada tahun fiskal 2013 mendapat gelontoran anggaran US$14,7 milyard (US$12 milyard pada 2004).

Badan-badan intelijen Amerika (foto : CNN)
 

National Security Agency (NSA) tugas utamanya adalah, melindungi sistem informasi pemerintah dan mencegat sinyal informasi intelijen luar negeri. Pada tahun 2013 mendapat bagian anggaran sebesar US$10,8 milyard (US$6 milyard pada 2004). National Reconnaissance Office (NRO), tugas utamanya adalah mendesain, membangun dan mengoperasikan satelit citra dan pengintai. Pada tahun 2013 mendapat anggaran US$10,3 milyard.

National Geospatial-Intelligence Program, tugas utamanya adalah menghasilkan dan memberikan data base intelijen citra, yang dipergunakan untuk kepentingan keamanan nasional, operasi militer AS, navigasi dan bantuan kemanusiaan. Pada tahun 2013 mendapat anggaran sebesar US$4,9 milyard (US$3 milyard pada 2004). General Defense Intelligence Program, bertugas membuat penilaian niat dari militer asing dan berkemampuan membuat penilain kebijakan para komandan militer. Melakukan koleksi intelijen terhadap teknik dan manusia serta melakukan manajemen terhadap media. Pada tahun 2013 mendapat anggaran sebesar US$4,4 milyard.

Penilaian Intelijen AS Terhadap Korut

Pertemuan antara kedua pemimpin unik tersebut jelas tidak terlepas dari peran tokoh serta Badan intelijen AS dan juga Korea Utara. Dapat dipastikan bahwa CIA serta NSA telah membaca dan menyadap semua sikon Korea Utara dibawah Kim Jong Un. Arsitek utamanya adalah Mike Pompeo, Direktur CIA yang kemudian dipercaya Presiden Trump menjadi Menteri Luar Negeri menggantikan Rex Tillarson. Sementara dari pihak Korea Utara, pejabat yang dikirim ke AS sebelum KTT di Singapura adalah Jenderal Kim Yong-chol (72)  mantan kepala badan intelijen militer. Keduanya menjadi arsitek pertemuan menindak lanjuti upaya terlaksananya KTT tersebut yang terus digencarkan oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in.

Sebuah catatan penting berupa informasi intelijen dasar dari kebijakan Korea Utara yaitu perkiraan intelijen jangka panjang CIA yang dibuat pada Tahun 1969. CIA mengeluarkan sebuah briefing intelijen yang menyebutkan ; “Pyongyang tampaknya bersedia hidup dengan situasi yang melibatkan korban yang cukup besar dan menimbulkan bahaya berupa serangan balasan. Sebuah egoisme yang ekstrem dan semakin berkembang dari pemimpin dan pendiri negara tersebut Kim Il Sung.” Basic descriptive intelligence tersebut menjadi data the past yang selalu dijadikan pegangan oleh dinasti Kim sebagai pemimpin nasional, terlihat dari dinamika the present serta kemungkinan langkah the future.

Kim Jong Un setelah mendarat di Singapore menggunakan pesawat Air China (Foto : Hindustan)
 

Setelah Kim Jong-un menyatakan akan melakukan penyerangan ke Korsel, Jepang dan Guam dengan peluru kendali nuklir, nampaknya kekuatan dan kemampuan Korut tersebut tidak sepenuhnya diketahui 100 persen oleh pihak AS. Korut mampu melakukan pengamanan informasi, hingga kegiatan nuklirnya tidak terdeteksi secara penuh. Yang nampak adalah kesimpangsiuran dan keragu-raguan bersikap dari pihak AS. Ketua Kepala Staf Gabungan AS menyatakan AS tidak tahu apakah Korea Utara telah “weaponized” kemampuan nuklirnya. Washington menyikapi dengan serius, dan kemudian mengirimkan dua kapal perang AEGIS, pertahanan rudal yang diposisikan di dekat semenanjung Korea dan juga menggelar sistem anti rudal di Guam.

Sementara Menhan AS saat itu, Chuk Hagel menempatkan pembom B-2 dan pesawat tempur F-22 di Korea Selatan. Pesawat pembom yang mampu membawa persenjataan nuklir, B-2 dan F-22 adalah pesawat stealth anti radar. Hal tersebut bertujuan sebagai langkah preventif, tidak memprovokasi Korea Utara, hanya merupakan psywar dengan pesan “Serangan terhadap Korsel akan membahayakan anda,” demikian pesannya.

Walaupun mengetahui adanya upaya pengepungan baik sisi politik maupun militer, nampaknya Kim Jong-un tetap bersikeras mengancam akan menyerang AS. Tanpa rasa takut pemimpin negara komunis ini mampu meyakinkan rakyatnya untuk menerima kondisi perekonomian sulitnya. Menurut PBB, dua pertiga dari 24 juta rakyat Korut mengalami kekurangan pangan, termasuk 1,1 juta tentaranya. Disebutkan bahwa mereka makan tiga kali sehari tetapi bukan makanan yang bergizi, sekitar 30 persen melakukan pekerjaan administratif, dan 40 persen mengikuti pelatihan ideologis, karena fisiknya lemah. Para prajurut hidup dengan memakan beras dicampur tepung jagung, kimchi, sup dan acar lobak rumput laut

Diatas kertas bagi Amerika, dalam hitungan menit, alutsistanya akan mampu menghancurkan target militer terpilih dari Korea Utara, baik silo peluru kendali maupun reaktor nuklir. Akan tetapi AS harus memikirkan kemungkinan adanya rudal yang lolos, juga dampak serangan tersebut baik terhadap sekutunya Korea Selatan dan Jepang, maupun reaksi dunia internasional. Sekecil apapun serangan yang dilakukan ke wilayah Korea Utara diperkirakan akan memancing perang besar, karena pejabat Korea Utara juga mengancam akan membalas dengan persenjataan yang mereka miliki.

Sebenarnya AS pernah melakukan langkah diplomasi seperti yang kini dilkerjakan oleh Presiden Trump, tetapi negosiasi pemberian bantuan yang ditukar dengan kesepakatan melucuti senjata nuklir telah gagal, dimana sejak 2003 Korea Utara menarik diri dari Pakta Non-Proliferasi Nuklir NPT. Dari pengalaman masa lalu, Pompeo mengatakan kepada CBS bahwa pemerintah telah “membuka mata lebar-lebar” terhadap tantangan untuk berurusan dengan Korea Utara.

Presiden AS Donald Trump menunjukkan dokumen yang telah ditanda tangani dengan Kim Jong Un (Foto : detik)
 

Dia mengatakan bahwa Korut ingin melakukan pembicaraan karena pemberian sanksi yang dipimpin oleh AS itu telah memukul ekonominya.”Tidak pernah terjadi sebelumnya Korea Utara dalam posisi ekonomi yang begitu berisiko, di mana pemimpin mereka berada dalam tekanan,” katanya pada Fox News. Selama ini, sanksi ekonomi yang dijatuhkan AS kepada Korut merupakan salah satu faktor yang menghentikan roda perekonomian negara itu.

Sebelum KTT di Singapura, setahun yang lalu, Rabu (25/4/2017), pemerintah Amerika mengeluarkan pernyataan bersama yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Rex Tillerson, Menteri Pertahanan Jim Mattis dan Direktur Nasional Intelijen Dan Coats. Selain ketiganya, hadir juga Ketua Gabungan Kepala Staf Jenderal Joe Dunford. Pernyataan diawali dengan ungkapan, bahwa “Upaya sebelumnya telah gagal untuk menghentikan program senjata ilegal dari Korea Utara dan uji coba rudal nuklir dan balistik. Dengan setiap provokasinya, Korea Utara membahayakan stabilitas di Asia Timur Laut dan menimbulkan ancaman bagi Sekutu kami dan tanah air AS.” Ini ungkapan paling serius dari pejabat AS.

Akan tetapi, setelah Donal Trump menduduki jabatannya, presiden dengan latar belakang pebisnis ini memerintahkan peninjauan menyeluruh atas kebijakan AS yang berkaitan dengan Korea Utara. Pendekatan Presiden bertujuan untuk menekan Korea Utara agar membongkar rudal nuklir, rudal balistik, dan proliferasi dengan mengetatkan sanksi ekonomi dan melakukan tindakan diplomatik dengan sekutu dan mitra regional. Pemerintah AS akan melibatkan anggota masyarakat internasional yang bertanggung jawab untuk meningkatkan tekanan terhadap Korea Utara agar kembali ke jalur dialog. Para pejabat teras tersebut memberi penjelasan kepada Anggota Kongres mengenai peninjauan presiden.

Menhan AS Jim Mattis berteman baik dengan Menhan RI Ryamizard Ryacudu, Mattis pernah berkunjung ke Indonesia, Menhan RI diundang ke Hawai saat perubanhan nama USPACOM menjadi United States Indo-Pacific Command (USINDOPACOM pada 30 Mei 2018 (Foto : VOA News)
 

Sebelumnya Menteri Pertahanan, Jim Mattis salah satu tokoh berpengaruh besar di pemerintahan Trump menegaskan di Korea Selatan, “Setiap serangan terhadap Amerika Serikat, atau sekutunya, akan dikalahkan, dan setiap penggunaan senjata nuklir akan mendapat tanggapan yang akan efektif dan luar biasa,” kata Menteri Pertahanan Jim Mattis yang dikenal tegas sebagai purnawirawan jenderal Marinir. Dilain sisi pemimpin yang nekat itu menyatakan tidak takut dan siap berperang.

Analisis

Kini yang menarik dari fakta-fakta tersebut diatas, mengapa Presiden Trump menyetujui pertemuan dengan Kim Jong Un? Persiapannya hanya sekitar tiga bulan, dinilai terlalu pendek. Disinilah peran besar dari tokoh intelijen AS serta Korea Utara. Pompeo sebagai Menlu telah bertemu dengan Kim Jong Un pada awal Mei 2018 dan berhasil membebaskan tiga WN AS yang ditahan. Menurut laporan apabila KTT ini sukses, akan dilakukan pertemuan oleh first layer kedua di ibu kota Korea Utara itu dengan fokus pada penajaman poin denuklirisasi yang dibahas Trump dan Kim pada Selasa (12/02) pagi.

Pompeo beserta penasihat Keamanan presiden, John Bolton telah memahami bahwa terdapat pergeseran kebijakan Kim Jong Un untuk kembali ke meja perundingan. Bolton mantan Dubes AS di PBB diketahui merupakan tokoh yang memiliki cara pandang keras hampir mirip Trump. Pada 2003, Bolton mencela secara tegas menyatakan Kim Jong-il sebagai diktator tiran yang negaranya menyerupai neraka. Kim nampaknya agak melunak, dia  bertemu dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dan akan berpartisipasi dalam Olympiade musim dingin di Korea Selatan, dimana warga Korea Utara akan diijinkan bertemu dengan keluarga mereka di Selatan.

Jika pertemuan kedua berlanjut, maka akan dilanjutkan dengan pertemuan selanjutnya yang digelar di Washington, AS, pada Septermber mendatang.Banyak yang menduga bahwa Korea Utara tidak akan langsung bersedia menghentikan program senjata nuklirnya walau negara itu amat mengharapkan penghentian sanksi internasional sebagai imbalannya. Menlu AS Mike Pompeo, bersikukuh denuklirisasi menjadi fokus utama pada pertemuan Trump-Kim di Singapura. “Kami terus berkomitmen pada denuklirisasi utuh, bisa diverifikasi dan kekal di Semenanjung Korea,” katanya. Sebagai imbalannya, AS akan menjamin keamanan Korea Utara serta akan membantu perekonomiannya.

Presiden Trump dengan dua pembantu dekatnya, John Bolton Penasihat Keamanan Nasional (kiri) dan Mike Pompeo, mantan Direktur CIA yang kini menjadi Menlu (foto : the Hill)
 

Dalam hal keamanan, Kim dinilai akan menuntut AS untuk menghentikan aktivitas di pangkalan militernya di Korea Selatan. Selain itu, Kim juga disebut ingin mengembalikan citra negaranya yang selama ini dianggap menutup diri dari dunia internasional dan tak menghargai hak asasi manusia. Terkait kesejahteraan, sanksi ekonomi internasional yang dijatuhkan kepada Korut telah menghentikan roda perekonomian negara itu. Dalam hal ini Presiden Trum menyatakan optimisme masa depan hubungan yang lebih baik antar kedua Negara. Trump memberi isyarat akan menarik pasukannya dari Korsel.

Dari sisi intelijen, ada informasi kunci yang mungkin tidak menonjol tetapi nilainya sangat tinggi untuk masa depan Korea Utara. Setelah Kim Jong-Nam dibunuh di Malaysia, mendadak muncul anaknya Kim Han Sol. Video ini diterbitkan oleh sebuah kelompok, yang menamakan dirinya Cheollima Civil Defense yang mengatakan merespons bulan lalu permintaan darurat dari keluarga Kim Jong Nam untuk “ekstraksi dan perlindungan.” Kelompok ini melindungi keluarga Jong-Nam dan menyatakan bahwa Pemerintah Belanda, Cina, Amerika Serikat, dan satu lainnya yang tidak disebutkan namanya juga memberikan bantuan kemanusiaan darurat untuk melindungi keluarga Jong Nam, kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis melalui video. Kim Han-sol lahir pada 16 Juni 1995 (umur 21 tahun), di Pyongyang, Korea Utara,

Kim Han Sol (kanan), anak Alm Kim Jong Nam, yang juga cucu dari Kim Jong-Il, penulis prediksikan suatu saat berpeluang dapat menggantikan Kim Jong Un, selama dinasti Kim tetap dapat dipertahankan, sosok ini yang sebaiknya di pegang oleh AS (Foto : Daily Star)
 

Pendidikan: United World College di Mostar, terdaftar di Institut d’Etudes Politiques de Paris, dikenal sebagai Sciences Po, pada tahun 2013 setelah sebelumnya lulus dari United World College (UWC) di Mostar, Bosnia dan Herzegovina. Kim muda ini, cucu dari Kim Jong-il dan Song Hye-rim, orangtuanya Hyegyeong dan Kim Jong-nam, pamannya Kim Jong-un, Kim Jong-chul, buyutnya : Kim Il-sung dengan Kim Jong-suk. Nah inilan pangeran muda generasi mendatang yang nilainya jauh lebih penting dibandingkan Jong-Nam. Kim Han Sol kini tinggal di China seperti mendiang ayahnya. Intelijen AS pasti mengetahui nilai Kim muda ini yang sewaktu-waktu bisa menggantikan Kim Jong Un.

Kesimpulan

Pertemuan antara Presiden Donald Trump dengan Kim Jong Un memang terlaksana, tetapi masih harus dilalui jalan panjang agar tercapai kata sepakat. Kim melihat peluang agar perekonomiannya akan dapat membaik dan keamanannya terjamin, sementara Trump melihat dari sisi sebagai pebisnis bahwa apabila keinginan denuklirisasi tercapai, AS akan mengurangi gelar pasukan di Korea Selatan. Perundingan dinilainya jauh lebih murah ongkosnya dibandingkan dengan perang, karena China juga akan tidak senang apabila Korea Utara sebagai bumpernya diserang.

Therapy Trump berbeda dengan pendahulunya saat menangani Libya dan Irak. Sebagai pedagang maka keuntungan harus banyak dan dengan ongkos kecil. Tetapi perlu diingat, Trump juga serius menangani setiap ancaman nasional terhadap AS, dia akan memukul dengan kekuatan militer,  dengan operasi intelijen atau dengan instrument lainnya. Kalau perlu seperti OPLAN 5015  dilakukan, potong kepala Jong Un dan jadikan tokoh yang bisa menjadi mitra AS. Nampaknya Kim Jong Un menyadari hal ini, walau mungkin saja dia akan membelot seperti yang dilakukannya pada tahun 2003, tetapi yang harus dihitungnya, nasibnya akan  seperti Khadafi, terjadi pemberontakan yang didukung AS dan akhirnya dia dibunuh oleh rakyatnya sendiri.   Sebagai penutup, prediksi penulis, bukan tidak mungkin suatu saat Korut akan dipimpin oleh Kim Han Sol, cucu dari Kim Il Sung itu, kita lihat nanti.

Pesan Moralnya : “Jangan coba melawan AS kalau tidak punya senjata nuklir”

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net 

Perang Dagang Trump, Sebuah Analisis Intelijen

$
0
0

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan pernyataan perang dagang kepada China mulai 6 Juli 2018, mengenakan tarif masuk 25 % untuk barang-barang yang diekspor ke AS, terutama baja dan aluminium.  Trump mulai memberlakukan tarif impor produk dari China hingga senilai US$ 34 miliar. Bloomberg melaporkan, dalam dua minggu ke depan atau lebih, AS akan mengumumkan lagi tarif impor senilai US$ 16 miliar pada produk-produk China.

China menyatakan akan membalas, mengenakan tarif yang sama terhadap hasil pertanian dan kebun dr AS. Trump yang marah mengancam akan menambah menaikkan tarif impor lebih besar lagi 10 persen  hingga US$ 200 miliar jika China melakukan langkah balasan.

China yang nekat tidak takut, justru memperluas sasaran, mengancam akan menaikkan tarif ekspor pesawat Boeing AS ke China. Ini mengakibatkan keresahan di perusahaan raksasa itu  karena pasar China bisa saja diambil alih oleh Air Bus Eropa. Kini beberapa  pemimpin Eropa dan Asia mulai  bersekutu dengan China melawan AS. Sedangkan  di dalam negerinya sendiri Trump juga dilawan oleh beberapa pengusaha besar pendukung Partai Republik.

Yang paling ekstrem melawan Trump di dalam negeri AS adalah General Motor. Dan Harley Davidson yang harus beli baja lebih mahal. Mereka memutuskan memindahkan pabriknya ke LN. Trump marah pada para pengusaha itu yang dinilai tidak mau prihatin di awal perang yang menurutnya kesengsaraan itu tidak akan lama, AS akan menang perang, tegasnya.

Perang Dagang AS Melibatkan Banyak Negara

Uni Eropa telah mengenakan bea impor sebesar 25 persen terhadap berbagai produk Amerika Serikat (AS) mulai  Jumat (22/6/2018). Komisi Eropa menyatakan putusan tersebut merupakan tanggapan atas tarif yang dikenakan AS pada baja dan aluminium Uni Eropa sejak awal bulan Juni 2018. Komisi Eropa secara resmi mengadopsi undang-undang yang memberlakukan bea senilai € 2,8 miliar atau sekitar US$ 3,2 miliar pada barang-barang AS. Di antaranya, hasil pertanian seperti jagung manis dan kacang tanah, bourbon, jins, serta sepeda motor. Tetapi Uni Eropa masih bersedia menarik kembali kebijakan bea impornya jika AS melakukan hal yang sama. Sebagai informasi, ekspor baja dan aluminium Uni Eropa saat ini dibebani tarif sebesar € 6,4 miliar.

Menurut Juru Bicara PSI Bidang Ekonomi, Industri, dan Bisnis, Rizal Calvary Marimbo, 124 produk asal Indonesia  juga sedang di-review oleh Trump, di antaranya kayu plywood, cotton, dan lain sebagainya. Bila GSP ini dihilangkan maka bea masuk ekspor produk Indonesia ke AS lebih mahal. Indonesia beruntung karena di era Presiden Jokowi sudah menjaga jarak aman dengan AS dalam perekonomian. Sehingga ketergantungan Indonesia ke AS dapat dikurangi dan posisi tawar Indonesia lebih menguat. Ketergantungan Indonesia kepada investasi AS terus menurun  secara signifikan. Pada tahun 2013, investasi Amerika Serikat sempat mencapai USD 2,4 miliar,  nilai tersebut terus menurun, tahun  2016 hanya sebesar USD 1,2 miliar. Bahkan pada tahun 2015 hanya USD 893 juta.

Beberapa negara yang dinilai sebagai  penyumbang defisit AS adalah, China USD 347 miliar, Jepang USD 68,9 miliar, Meksiko USD 63,2 miliar, Irlandia USD 35,9 miliar, dan Vietnam USD 32 miliar.Beberapa negara lain yang dinilainya juga menyumbang defisit neraca perdagangan AS adalah India, Italia, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Perancis, Taiwan, Kanada, dan termasuk Indonesia.

Tarif tersebut berlaku pasca Trump memukul Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko dengan tarif 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium pada awal Juni. Padahal, sejak Maret, ketiga negara tersebut memperoleh pengecualian.

Presiden AS Donald Trump dengan PM Canada Justin Trudeau (foto :NPR)

 

Sebelumnya, Kanada telah terlebih dahulu mengumumkan pemberlakuan tarif impor balasan senilai US$ 12,5 miliar terhadap AS mulai 1 Juli. Begitu pun dengan Meksiko yang telah mengenakan tarif untuk produk AS mulai dari baja hingga daging babi dan bourbon sejak dua pekan lalu.

Unsur-Unsur Utama Keterangan (Intelijen)

Unsur-unsur Utama Keterangan (UUK) atau Esential Elements of Information (EEI) biasanya berupa pertanyaan-pertanyaan yang sangat luas cakupannya. Disamping kemampuan kita sendiri, juga mengenai kekuatan dan kemampuan pihak lawan. Dalam hal ini perlu di dalami kenapa Trump mengeluarkan kebijakan yang membuat resah dan marah demikian banyak negara lainnya.

Pada dasarnya, dalam formula UUK itu tercakup semua jawaban yang akan diusahakan oleh eselon-eselon intelijen sesuai kehendak user. Dalam hal ini, misi intelijen akan memberikan prioritasnya. Pada umumnya UUK itu pendek saja, cukup tiga buah kalimat misalnya “tentukan jika lawan akan menyerang posisi-posisi kita. Rekomendasi terhadap UUK itu. EEI/UUK sependek itu saja sudah mampu menggerakkan intelijen yang sangat hebat dari segi kegiatan dan koordinasinya. Kita cukup menilai khususnya perang dagang ke Indonesia, serta apa rekomendasi penyelamatan atau penghadangan. Nah, pagi ini Presiden Jokowi memimpin rapat Kabinet membahas perang dagang tersebut. BIN sebaiknya menjawab UUK.

Sebenarrnya UUK (Mengapa Trump mencanangkan perang  Dagang?) bisa dijawab sederhana. Jauh hari sebelum jadi presiden, dia mengatakan AS selalu kalah dalam masalah perdagangan. Bahkan beberapa perusahaan di AS telah diambil alih oleh China. Kini dengan  kekuasaannya, dia menginginkan  perubahan. Apakah hanya itu jawabannya? Nampaknya memang benar, tetapi di baliknya terdapat sebuah setting besar negara lawannya,  justru tujuannya untuk menghancurkan AS melalui kekuasaan di AS itu sendiri.

Sementara ini penulis menilai kebijakan Trump (AS)  sangat merugikan AS, karena memukul para mitra dan sekutu-sekutunya seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Canada misalnya, yang  ikut jd korban. AS akan dijadikan musuh bersama banyak negara. Tapi dia tidak peduli, yg terbaca, dia hanya memikirkan  dan fokus kepada kepentingan AS, tidak peduli kepada negara lainnya, apapun resikonya. Keputusan yang blunder atau menunntungkan AS? Kita bahas dalam analisis.

Keterlibatan Rusia dalam Pilpres di AS

Michael Flynn, purnawirawan Angkatan Darat Amerika Serikat (AS), yang sempat di dapuk jadi calon kuat wakil presiden Donald Trump, Jumat (1/12/2017), saat menjalani pemeriksaan oleh FBI, mengakui bersalah telah membohongi lembaga itu atas percakapan dirinya dengan Duta Besar Rusia untuk AS, Sergey I. Kislyak, Desember 2016.

Jenderal Michael Flynn, mantan penasihat keamanan nasional (Foto : CNBC)

 

“Pengakuanku dan perjanjian untuk berkerjasama dengan Penasihat Khusus FBI (Robert Mueller III) mencerminkan keputusan yang aku buat untuk kepentingan keluarga dan negaraku. Aku mengaku bersalah, dan atas keyakinanku kepada Tuhan, aku akan berusaha meluruskan ini semua,” sebut Flynn dalam petikan pernyataan yang dikutip dalam CNN, Jumat (1/12/2017).

CNN menyebut, Flynn menjadi pejabat senior Gedung Putih pertama yang membuka mulut ke FBI atas dugaan konspirasi Rusia atas kemenangan Trump pada pemilihan presiden AS, November 2016. Meski bagi Flynn, pengakuan ini sebenarnya bukan yang pertama kalinya. Flynn mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Penasihat Keamanan Nasional pemerintahan Trump pada 13 Januari 2017, atau sekitar 24 hari setelah Trump dilantik.

Analisis

Trump terlihat   terlalu jumawa untuk membenahi persoalan perdagangan AS dengan negara-negara lain, sebenarnya khusus kepada China, yang berakibat kini AS harus  melawan demikian banyak negara-negara di dunia. Trump tidak konsisten dalam keputusannya, tiga negara dan kelompok  yang awalnya dapat perlakuan khusus (Canada, Mexico dan Uni Eropa) akhirnya dikenakan juga aturannya, merekapun semakin marah. AS boleh menjadi yang terkuat dalam sisi militer serta memiliki instrumen-instrumen power lainnya. Tetapi perlu diingat pada sejarah perang Vietnam, melawan tikus-tikus  tanah Vietkong saja super power ini kalah, meninggalkan ratusan ribu korban jiwa. Selain itu korban pasukan dalam operasi militer dalam perang   Korea, Afghanistan dan Irak, puluhan ribu pasukannya telah tewas dikorbankan.

Presiden Trump dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, banyak yang tidak tahu back ground Putin adalah orang intelijen, KGB (Foto : The Atlantic)

 

Nah, kini menurut penulis,  AS memang telah terkena operasi pengondisian (conditioning operation) saat pilpres. Terjadi infiltrasi intelijen dalam pilpres tersebut. Beberapa informasi  menyebutkan adanya keterlibatan Intelijen Rusia sehingga Donald Trump menang dari Hillary Clinton. Presiden Rusia Vladimir Putin dalam sebuah wawancara telah menolak keterlibatan Rusia, dan menyatakan tidak terbukti. Bagaimana dengan FBI?

Rusia serta China,  telah dicanangkan pemerintahan AS sebagai musuh utamanya. Apabila head to head secara militer jelas keduanya akan kalah melawan AS, oleh karena  itu dalam teori intelijen, upaya terbaik untuk mengalahkan AS, lakukan operasi penggalangan. Intinya, jadikan tokoh yang nekat, ambisius dan tdk peduli etika internasional, hanya melihat hitam-putih menjadi presiden. Maka AS akan terjebak oleh pemimpinnya menjadi negara yang arogan, tidak punya rasa takut dan diperkirakan akan menjadi musuh bersama komunitas dunia. Sadarkah warga AS?

Kini hal itu terjadi, AS menuju ke titik rawan dan serius, menjadi musuh bersama negara-negara yg terkena dampak perang dagang dari presidennya. Apakah Trump tidak sadar yg disentuhnya adalah harkat hidup masyarakat internasional. Mereka akan bertahan dan berjuang bersama baik hidup maupun mati. Demi ketertiban dunia, perdagangan diatur oleh WTO, tetapi kini organisasi itu tampak diacuhkan.

AS bisa saja menang ataupun kalah melawan masyarakat internasional. Kalau terus begini, ujungnya akan muncul  terjadinya perang fisik besar, bahkan perang dunia. Atau kemungkinan lain, bisa saja terjadi org AS yang realistis atau oposannya akan menghabisinya seperti masa lalu. Intelijen AS pernah memberikan informasi semu tentang SPM Irak kepada Presiden George Bush, seperti yang diakuinya. Kitapun hingga kini tidak faham  kenapa Presiden John Kenedy tewas ditembak mati oleh konspirasi yang tidak jelas.

Itulah Amerika, hebat di satu sisi, tetapi dalam kondisi tertentu mudah pecah dan berbeda pendapat, akibat dari sistem demokrasinya sendiri. Sebuah resiko dari sistem yang dibuat manusia. Diantara presiden-presiden  AS, memang terlihat perbedaan cara berpikir dan pengambilan keputusan antara  pemimpin dengan latar belakang bisnis/pedagang dibandingkan dengan pemimpin yang berasal dari  politisi/birokrat.

Tanggal 4 Agustus 2018 mulai pendaftaran pasangan Capres-cawapres Indonesia untuk pilpres 2019, baru dua tokoh ini yang sudah muncul, ataukah ada capres ketiga? (Foto : Pepnews)
 

Bagi Indonesia, kita tidak perlu khawatir dengan kondisi perang dagang ini, karena Indonesia bukan dianggap  lawan oleh AS dan juga neraca perdagangan kedua negara  tidak terlalu signifikan. Tetapi, para pejabat kita, jangan terlalu jumawa, angkat dada, ngomong begini-begitu, beda satu sama lainnya. Berat kalau melawan AS, lebih-lebih kalau dalam cerita wayang, presidennya itu sedang tiwikromo, merasa berubah  jadi raksasa yang sangat besar. Anggap kasus ini bagian dari  studi  untuk Indonesia yang perlu  kita cermati bersama menuju pilpres 2019.

Kalau keliru memilih pemimpin yang suka tiwikromo begitu, implikasinya berat, ada resiko-resiko yang perlu difahami, dunia makin kecil dengan teknologi dan medsos, pemimpin sebaiknya makin arif tetapi cerdas. Semoga bermanfaat. PRAY.

Penulis: Marsda Pur Prayitno Ramelan, Analis Intelijen, www.ramalanintelijen.net

 

 

Kasus Nyata Sang Pengarang Sherlock Holmes

$
0
0

Siapa yang tidak kenal dengan Sir Arthur Conan Doyle. Orang yang dikenal sebagai pengarang dari Sherlock Holmes ini, adalah orang pertama yang mempopulerkan metode deduksi dan observasi serta kemampuan detektif (linknya bisa dilihat di bawah). Para Sherlockian (sebutan bagi para fans Sherlock Holmes) biasanya mengkaji buku-buku yang dia karang untuk memperoleh dan mempelajari kemampuan tersebut, namun bukan hanya karena buku-buku Sherlock Holmes karangannya tersebut saja saya mengaguminya, tapi karena dia sendiri menggunakan kemampuannya tersebut layaknya Sherlock Holmes versi asli. Terdapat 2 kasus terkenal yang ditangani oleh Sir Arthur Conan Doyle, yang pertama adalah kasus George Edalji, sedangkan kasus yang kedua adalah kasus Oscar Slater. Di kesempatan kali ini, saya hanya akan menceritakan kasus mengenai George Edalji saja. Supaya loading page tidak terlalu lama, saya membagi artikel ini ke dalam 5 halaman.

Mari kita mulai dengan siapa itu George Edalji. George Edalji dilahirkan dari seorang ayah berkebangsaan India yang menikah dengan seorang perempuan Inggris, yang kemudian masuk ke dalam agama kristen, dan bahkan seterusnya menjadi pemimpin spiritual dari komunitas kecil di Staffordshire. Dikarenakan Edalji merupakan keturunan orang India, beberapa orang di komunitas gereja di sana tidak senang kalau harus melihat seorang keturunan persia melakukan ceramah kristen.

Pada tahun 1892, ketika George berusia 16 tahun, keluarga Edalji mulai mendapatkan surat ancaman di kotak surat mereka. Di saat yang sama, pemimpin gereja Staffordshire memperoleh surat ancaman dan penghinaan yang surat tersebut, ditandatangani oleh tanda tangan palsu Edalji, membuat orang-orang di sekitarnya membenci mereka. Iklan penghinaan, kemudian muncul di koran lokal, hal ini membuat George yang saat itu tinggal di asrama gereja memperoleh pengucilan.

The Edalji Family (gutenberg.net.au)

Penghinaan terhadap keluarga Edalji kemudian berlanjut dengan terjadinya insiden mutilasi terhadap hewan ternak di sepanjang Great Whirley. Kepolisian setempat, kemudian memperoleh surat tidak bernama yang isinya menuduh kalau George Edalji adalah orang yang bertanggung jawab atas mutilasi hewan ternak tersebut. Surat ini tidak hanya sampai pada kepolisian saja, namun telah menyebar hingga ke seluruh masyarakat. George kemudian ditangkap oleh polisi, dan dikarenakan dia tidak memiliki alibi, dia divonis penjara selama 7 tahun.

Ayahnya, yang tahu kalau anaknya tidak bersalah tanpa kenal lelah berusaha mempublikasikan kasus yang dialami George Edalji dan ketidakbersalahan anaknya. Pada tahun 1906, entah kenapa George Edalji dibebaskan tanpa penjelasan apapun dan tanpa surat permintaan maaf. Setelah dia bebas, karena tidak adanya surat permintaan maaf, reputasinya telah jatuh sehingga tidak ada satupun orang yang mau mempekerjakannya. Sejak saat itulah, dia kemudian berusaha untk membersihkan nama baiknya.

Dalam usaha membersihkan nama baiknya, George kemudian menuliskan sudut pandang kasus tersebut berdasarkan sudut pandang dirinya. Versi ini kemudian dipublikasikan di The Umpire. Tidak hanya itu, dia juga mengirimkan artikel beserta kliping mengenai kasus tersebut kepada pengarang Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle.

“Ketika aku membaca”, Sir Arthur menerangkan, “kesalahan aksen (logat) yang sudah dapat dipastikan menyita perhatianku.” “Aku langsung sadar kalau aku sedang berada di tengah tragedi yang menjijikkan dan aku merasa terpanggil untuk melakukan apapun yang bisa aku lakukan untuk melakukan hal yang benar.”

Beliau kemudian memulai dengan mempelajari sudut pandang Keluarga Edalji atas kasus tersebut. Selagi dia melakukan hal tersebut, beberapa pernyataan penting terlintas ke dalam pikirannya. Beberapa hal detail penting tersebut, beserta orang-orang yang kemungkinan terlibat beliau tulis di dalam artikel di The Daily Telegraph, beserta keanehan yang dia peroleh dari bukti-bukti terkait beserta proses persidangan. Artikelnya tersebut, membuat kasus Edalji semakin terang. Pisau yang menurut polisi digunakan oleh George Edalji untuk memutilasi kuda poni, tidak sedikitpun terdapat bekas darah. Lumpur yang terdapat di baju Edalji pun, memiliki tipe tanah yang berbeda dengan lumpur yang terdapat di TKP. Dan yang lebih konyol lagi, Conan Doyle menyadari kalau polisi telah membungkus selembar kulit kuda mati yang dibawa sebagai barang bukti, dan menyatakan kalau beberapa helai rambut kuda telah ditemukan di baju yang juga dipakai oleh George Edalji, juga beberapa bercak darah.

George Edalji in the dock (http://gutenberg.net.au)

 

Sir Arthur berkomentar terhadap hal ini, “Seorang ahli potong terhebat yang pernah hidup sekalipun, tidak akan mampu merobek tubuh kuda di tengah malam yang gelap menggunakan pisau, namun hanya terdapat 2-3 bercak darah di bajunya. Hal ini benar-benar perlu diperbantahkan.”

Selain itu, Conan Doyle juga menyadari kalau ahli tulisan tangan “graphology” yang disewa polisipun, merupakan orang bermasalah yang sudah terkenal sebagai orang yang seringkali mengirimkan orang-orang yang yang sebenarnya tidak bersalah ke penjara dengan analisisnya yang kemudian terbukti nantinya, kalau analisis ahli tulisan tangan tersebut terlalu banyak memiliki kesalahan.

Setelah Sir Arthur Conan Doyle yakin dan tidak ragu lagi kalau George Edalji tidaklah bersalah, beliau kemudian mengatur pertemuan dengannya secara pribadi. Ketika beliau bertemu dengannya, kesan pertama yang dia temukan pada George, membuat dia semakin yakin kalau George tidaklah bersalah. Hal ini dikarenakan Edalji menderita suatu kondisi yang sebelumnya tidak diketahui oleh beliau. “Aku datang terlambat pada waktu itu” ujar Conan Doyle. “Dia (George Edalji), menghabiskan waktunya menunggu dengan membaca koran. Dia membaca korannya begitu dekat dan agak miring ke samping, hal ini membuktikan kalau dia tidak hanya menderita miopia (rabun jauh), tapi juga mengalami astigmatis (silinder). Berdasarkan akal, kemungkinan orang seperti ini, keluar malam-malam ke ladang untuk memotong sapi hidup sambil menghindari pengawasan polisi hampir mustahil dibayangkan, ditambah lagi dia memiliki derajat miopia sebesar 8 dioptri.

Mata dari Edalji, tidak hanya membuktikan ketidakbersalahan dari Edalji, namun juga membuat dirinya dinyatakan bersalah oleh polisi, hal ini dikarenakan kemampuan matanya yang tidak mampu untuk fokus membuat dirinya kelihatan seperti orang yang memiliki cara melihat aneh, mirip seorang psikopat (padahal aslinya tidak seperti itu).

Conan Doyle, kemudian secara lengkap men-submit hasil penyelidikannya tersebut  ke dalam surat kabar The Daily Telegraph pada 9 Januari 1907 dengan instruksi untuk melabeli tulisannya tersebut sebagai “tanpa hak cipta”, supaya surat kabar lain bisa menyebarkan hasil investigasinya tersebut. “Hanya dengan membuatnya menjadi masalah publik, kita bisa mengakhiri ketidakadilan dan dengan menyebarkannya, kuharap hal ini bisa menjadi skandal nasional” ujar Sir Arthur. Surat kabar yang mencetak 18.000 kata hasil penyelidikannya tersebut, membaginya menjadi artikel 2 bagian.

Dengan telah bebasnya Edalji dari penjara, beberapa orang mungkin menyangka kalau tidak ada hal lain yang perlu dilakukan lebih jauh. Namun, Sir Arthur Conan Doyle sangat marah mendengar penolakan dari pemerintah untuk mengakui kesalahan mereka dan membayar kompensasi atas Edalji, yang membuatnya hidup terlantung-lantung selama 3 tahun, dikarenakan proses pengadilan yang tidak adil, inkompeten dan rasis.

Beberapa hasil karya fiksi Sir Arthur Conan Doyle, membuat artikelnya ini berhasil menyita perhatian masyarakat Inggris. Berkat tulisannya, hampir semua orang percaya kalau George Edalji memang mengalami ketidakadilan. Permintaan terhadap adanya penyelidikan ulang atas kasus tersebut, meningkat secara tajam.

Akhirnya, Home Secretary, merasa kesal atas apa yang terjadi, memutuskan untuk memilih 3 orang untuk mereviu kembali kasus tersebut. Yang mengherankan, 1 diantara 3 orang tersebut adalah sepupu dari Kapten Anson, Kepala Polisi Staffordshire. Orang pertama yang menyimpulkan kalau Edalji bersalah.

Pada saat itu, Sir Arthur Conan Doyle sedang berfokus pada suatu pertanyaan, ‘Kalau George Edalji tidak bersalah, siapakah orang yang melakukan kejahatan tersebut?’ Pada akhirnya, penyelidikan Conan Doyle benar-benar memberikan ancaman kepada pemutilasi ternak yang sesungguhnya, dan tidak lama kemudian beliau memperoleh surat ancaman yang telah lama beredar di Asrama Gereja Wyrley. ‘Pikirkan semua pembantaian yang telah dilakukan’ isi surat tersebut. Sir Arhur Conan Doyle yang menerima surat tersebut, tidak menggunakannya sebagai peringatan, namun justru sebagai bukti dan petunjuk lain.

Arthur Conan Doyle
Arthur Conan Doyle (gutenberg.net.au)

Beliau kemudian kembali memposting artikel kembali di The Telegraph pada edisi 29 Mei, yang berisi surat tersebut. Isi artikel tersebut adalah sebagai berikut: “Pada Senin tanggal 27, saya menerima surat dan kartu pos, keduanya tidak memiliki perangko, dari pengirim yang tidak diketahui yang tulisannya sangat mirip dengan tulisan surat ancaman mengenai seluruh peristiwa Edalji yang dimulai sejak tahun 1892…Surat yang memiliki banyak lipatan, mengisyaratkan kalau surat tersebut dikirimkan secara sembunyi-sembunyi, atau mungkin disimpan di saku seseorang, lalu kemudian dikirimkan. Hal ini mungkin saja bisa membuat penulisnya terlacak, maka dengan ini saya akan memberikan hadiah kepada siapapun yang tahu kapan surat ini datang.

Terkirimnya surat tersebut,membuat Sir Arthur Conan Doyle mendapatkan petunjuk. Salah satu surat yang dikirim oleh orang misterius tersebut, memiliki sedikit tanda (mungkin semacam cap atau tanda tangan), dari bekas kepala sekolah Walsall Grammar School di Staffordshire. Conan Doyle mengingat kalau salah satu surat yang dikirimkan kepada Edalji senior (maksudnya ayah dari Edalji), memiliki tanda yang sama. Selain itu, kunci yang dicuri dari sekolah pernah berada di bawah pintu masuk George Edalji. Sir Arthur kemudian mengkontak bekas kepala sekolah tersebut dan bertanya kepadanya mengenai siapapun di sekolah yang memiliki kesan tidak baik terhadapnya. Sang kepala sekolah kemudian menyebutkan mengenai seorang anak yang dikeluarkan bertahun-tahun sebelumnya dikarenakan sikapnya yang tidak terkontrol, cenderung perusak.

Conan Doyle juga mempelajari kalau dari penyelidikannya, anak tersebut telah menjadi seorang tukang daging, dan beberapa teman juga keluarganya pernah melihatnya menggunakan pisau bedah di saat yang sama di saat terjadinya peristiwa mutilasi hewan ternak tersebut. Setelah dia berada di jalan yang benar, Sir Arthur menemukan berbagai faktor lain yang akhirnya membuatnya menyimpulkan kalau anak tersebut merupakan kriminal yang sesungguhnya.

Conan Doyle, kemudian menyerahkan hasil investigasinya tersebut kepada komisi 3 orang yang telah dipilih oleh Home Secretary. Komisi tersebut, pada akhirnya memutuskan dan menyimpulkan kalau Edalji bukanlah orang yang membunuh kuda-kuda tersebut sehingga dia diampuni dari kesalahannya. Namun, dikarenakan ‘dia telah membuat dirinya sendiri berada dalam masalah’, dia tidak mendapatkan kompensasi. Dengan pernyataannya ini, komisi ternyata masih mempercayai kalau surat ancaman tersebut, dikirimkan oleh George Edalji kepada ayahnya sendiri.

George Edalji (gutenberg.net.au)

Untuk membuktikan kalau George Edalji tidak bersalah atas dakwaan penulisannya terhadap surat-surat ancaman tersebut, Sir Arthur Conan Doyle melakukan langkah yang lebih meyakinkan dengan meminta pendapat dari Dr. Lindsey Johnson, seorang ahli analisis tulisan tangan. Dr. Lindsey Johnson, sebagai seorang ahli tulisan tangan yang terkenal secara internasional, mengkonfirmasi kecurigaan Sir Arthur Conan Doyle dengan menjelaskan berbagai detail dan spesifik dengan membandingkan antara tulisan tangan George Edalji, dengan tulisan dari surat-surat ancaman tersebut.  ‘Contoh lebih jauh, benar-benar menunjukkan kalau tulisan keduanya benar-benar tidaklah mirip sedikitpun.’ Dan sudah dapat dipastikan olehnya, kalau tulisan tersebut benar-benar tulisan dari ‘Si Tukang Daging’ yang sebelumnya telah diidentifikasi oleh Sir Arthur.

Walaupun kesemua bukti ini telah ditunjukkan, pada dasarnya hanya pihak pers saja yang tertarik terhadap hal ini. Home Office secara simpel hanya menjawab kalau keputusan telah final, dan tidak bisa diubah lagi. Tidak ada sikap yang dilakukan pemerintah terhadap orang yang terbukti melakukan hal ini semua, baik itu surat ancaman, ataupun mutilasi hewan ternak, juga bahkan pencurian terhadap kunci sekolah.

Komunitas hukum, melakukan penilaian yang lebih adil daripada pemerintah atau kepolisian itu sendiri, dengan mengizinkan George Edalji untuk melanjutkan praktek pekerjaan yang sebelumnya dia tidak bisa lakukan di masyarakat, namun penyelidikan Sir Arthur yang luar biasa, justru berakhir dengan catatan pahit. Akibatnya, Sir Arthur Conan Doyle merasa jijik dengan birokrasi pemerintah. Penghukuman terhadap petugas yang membawa orang tidak bersalah menjadi korban, tidak pernah dilakukan sedikitpun. Peristiwa ini, benar-benar jenis akhir cerita yang tidak pernah diharapkan sedikitpun oleh para Sherlockian di seluruh dunia.

Source: Detektifpedia

CIA: China Ingin Gantikan AS sebagai Adidaya Dunia

$
0
0

China ingin mengganti posisi Amerika Serikat sebagai negara adidaya dunia melalui berbagai operasi pengaruh Beijing ke berbagai belahan dunia, kata seorang pejabat Badan Intelijen Pusat AS (CIA).

Wakil Asisten Direktur Pusat Misi Asia Timur CIA Michael Collins, seperti dikutip laporan CNN yang dipantau Antara di Jakarta, Minggu, mengatakan Presiden Xi Jinping dan pemerintahannya sedang melakukan “perang dingin” terhadap AS.

“Menurut istilah mereka dan apa yang disampaikan Presiden Xi, saya berpendapat, secara definisi, apa yang mereka sedang lakukan terhadap Amerika Serikat sejatinya adalah perang dingin. Tentu bukan seperti yang kita lihat selama Perang Dingin dulu, tapi perang dingin secara definisi,” katanya.

Perang dingin yang dia maksud secara definisi itu adalah sebuah negara yang mengerahkan seluruh kekuatan resmi dan tidak resmi yang dimilikinya, pemerintah dan swasta, ekonomi dan militer, untuk melemahkan posisi lawan tanpa tindakan konflik.

Namun, dalam pernyataannya saat tampil sebagai pembicara di Forum Keamanan Aspen, Colorado, hari Jumat (20/7) waktu AS itu, Collins menekankan bahwa China tidak ingin berkonflik.

Upaya Beijing ini, lanjut Collins, dimaksudkan agar pada akhirnya, setiap negara di dunia akan berpihak kepadanya dan bukan kepada AS saat mereka memutuskan kepentingan nasionalnya terkait dengan isu-isu kebijakan.

Melihat tulisan-tulisan Presiden Xi, cara pandang dirinya tentang dunia sebagaimana juga tercermin dalam Konstitusi China belum lama ini, maka semakin tampak jelas bahwa ancaman China merupakan tantangan global terbesar bagi AS saat ini, katanya.

Source: The Global Review

 

 


Pesan Armada Hantu Komunitas Intelijen Terhadap Cina

$
0
0

Siapa Armada Hantu? Komunitas intelijen pasti tahu. Pesannya sudah nongol via PW Singer. Armada itu sudah wujud. Makanya saya tak setuju bahwa Prabowo Subianto mengutip Ghos Fleet dicap memalukan oleh cebonger. Di sebelah mananya?

Novel Gosht Fleet memang hebat, luar biasa. Dibuat oleh orang luar biasa pula, PW Singer, dikutip orang-orang hebat pula. Singer saya baca, ialah ahli ilmu politik internasional, ilmuwan terkemuka Amerika, terkenal di dunia intelijen, malah incognito di dunia sastra. Dan content Ghost Fleet, yang ia tulis bersama Agust Cole, realis. Singer telah menulis 4 buku intelijen sebelumnya. Tentu saja buku seperti itu memiliki keterbatasan ruang pesan. Maka ia memilih fiksi sebagai medium.

Banyak hal yang bisa ditangkap dari novel itu, tapi butuh ilmu lebih untuk mencernanya. Jangan pakai fiksi membacanya, coba pakai ilmu semiotika semantiknya Derrida, kan terang benderang. Atau pakai ilmu intelijen. Itu satu.

Kedua, subtansi Ghost Fleet adalah Perang Dunia Ketiga yang pelakonnya adalah Amerika versus Cina + Rusia. Tapi subtansi lakon adalah skenario hegemonik Cina terhadap dunia yang sudah mengganggu Amerika. Sekarang pun sudah begitu. Identifikasi: Cina menginisiasi 3 bank kreditur sebagai lawan 3 bank kreditur Barat. Yaitu Brick, terdiri dari 5 negara Asia dan Afrika, berpusat di Afsel, lalu Broncho Del Sur, 14 negara sosialis Amerika Latin. Terakhir AIIB (Asia Infrastuktur Investment Bank) untuk Asia dengan pionir Cina, India, dan Indonesia, diresmikan 24 Oktober 2015 di Beijing.

Ketiganya untuk menyaingi 3 bank kreditur Barat (World Bank, IMF, ADB). In last minutes, bahkan IMF dan ADB masuk AIIB untuk mengantisipasi jika ekonomi Cina fall, akibatnya, upaya Presiden Cina Xi Jinping untuk menguasai AIIB gagal. Jadi, perang sudah dimulai yang, berbeda dengan tipologi Perang Dingin. Rentangnya hingga tahun 2030 — 13 tahun lagi. Terakhir, Rusia mengumumkan bom supersonik pekan lalu, adalah bom nuklir terkini. Sebelumnya Korut menguji coba bom hidrogennya yang puluhan kali lebih besar daripada bom atom Nagasaki, juga di bawah hegemonik Cina.

Cina lebih jelas, memamerkan program OBOR (One Belt One Road – satu darah, satu jalan) adalah program pembaruan politik jalur sutra yang beralat kebudayaan, telah diubah oleh Xi Jinping menjadi propaganda hegemonik, dimulai dari kooptasi ekonomi, baru politik secara asymetric.

Jika pada Jalur Sutra Indonesia tak masuk, pada OBOR, Indonesia target utama. Cukup reason Ghost Fleet menaruh lakon Cina sebagai penjajah yang bersekutu dengan Rusia dalam skenario. Untuk itu, Amerika butuh Armada Hantu untuk memenangkan perang. Hanya komunitas intelijen tingkat tinggi yang paham apa itu Armada Hantu. Jelas armada itu bukan fiksi.

Ketiga, kekuatan riil yang agresif saat ini hanya tiga negara itu: Amerika (polisi dunia) vs Cina+ Rusia, seperti konflik Suriah, Yaman, Korut, Iran, etc. Bahkan Rohingya. Mereka diametral. Ketiganya adalah warisan masa Perang Dingin, blok Komunis vs Kapitalis. Kedua kubu jelas bertikai, secara proxy dan asymetric war walaupun tameng ideologi ditaruh di belakang. Bukan menghilang, hanya bermetamorfosis.

Selama Orba, dan selama Presiden SBY, polugri Indonesia ke Barat. Zaman Orla ikut blok komunis. Setelah rezim Presiden Jokowi, polugri diubah ke Cina yang oleh Amerika dianggap pengkhianatan. Maklum, naiknya Jokowi ke kursi presiden, berkat bantuan Amerika, dimanfaatkan Cina.

Tahu salah, belakangan dicoba diperbaiki dengan mengamprah Direktur World Bank Sri Mulyani menjadi Menkeu untuk merayu Barat yang ngambek sejak kecaman Presiden Jokowi di Konferensi Asia Afrika di Bandung, 2015, dan untuk berutang. Menurut saya, itu subtansi mengapa dalam novel itu Indonesia telah dijajah Cina. Faktanya memang begitu.

Bagaimana mau menyangkal Ghost Fleet, faktanya 80% sektor keuangan dikuasai Cina, 80% ekonomi nasional juga dikuasai Cina, 74% tanah perkebunan dikuasai Cina, dan tercermin pula pada angka rasio gini yang termuat di “Paradox Indonesia” yang ditulis Prabowo 2017. Secara asymetric war, faktanya Indonesia dikuasai para Tycoon.

Untung Ahok dapat ditumbangkan, yang jelas-jelas proxy Cina. Jika tidak, kian jadi. Statistik Kompas, pada 2009 jumlah orang Cina di Indonesia adalah 7,9 juta. Data sensus 2014, menaik menjadi 14 juta. Diperkirakan terdapat 10 jutaan yang tak terekam data. Dengan itu, Indonesia adalah negara yang paling banyak menampung orang Cina di dunia.

Cerdas Singer, pesannya disampaikan via lenyapnya Indonesia akibat perang Timor, lalu novel itu booming. Tentu saja Singer paham detail lepasnya Timor Leste, peristiwa yang sangat menyakitkan bangsa Indonesia, dan BJ Habibie ditolak untuk menjadi presiden oleh parlemen 1999 karenanya. Orang yang paling sakit adalah Prabowo yang terakhir mengasuh Timur Timor.

Keempat, saya coba ikuti kiat praktikum ilmu intelijen ketika saya menjadi Redaktur di Koran Jayakarta, corongnya ABRI. Jika tak bisa menggunakan cara konvensional untuk menyampaikan info keras intelijen, maka dibuat narasi fiksi adalah cara paling tepat dan paling sering digunakan. Terutama untuk info strategis yang memiliki dampak gawat terhadap sikon yang butuh kamuflase deception operation inteligent.

Pesan dalam bentuk narasi fiksi, tersampaikan dengan utuh kepada pihak-pihak yang seharusnya menerima pesan tersebut. Bisa saja untuk Sekutu, bisa pula dari Sekutu. Singer luar biasa, ia telah menyampaikan pesan intelijen tanpa mengeruhkan air kolam. Ahh, itu fiksi? Apa bedanya dengan bahasa sandi dan metafora. Para kyai juga menggunakan bahasa metafora. Pak Harto juga begitu. Yang pasti, pesan Singer telah tersampaikan ke banyak komunitas intelijen internasional secara utuh dalam bentuk puzzle. Yah, susun sendirilah.

  • Oleh: Djoko Edhi Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR 2004 – 2009, Advokat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
  • Source: Nusantara News

 

 

Ada Tali-Temali antara Kewajiban Pengiriman Sampel Virus H5N1, NAMRU-2 dan Penggunaan Senjata Biologi AS

$
0
0

Pada 2007 Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari membuat keputusan menghentukan pengiriman sampel virus H5N1ke WHO Collaborating Center seraya menggalang gerakan internasional menuntut virus sharing yang adil, transparan dan setara antara negara-negara berkembang dan negara-negara maju melalui forum WHO. Ketika pihak pemerintah AS mengirim John Lange menemui Fadilah Supar untuk menghentikan gerakan internasional menggugat ketidakadilan global yang dilakukan WHO, muncul ucapan mengejutkan dari Jonn Lange ketika menyadari usaha membujuk Supari gagal. “Meski kita tidak mencapai kesepakatan, semoga hubungan RI-AS tetap berjalan baik. Dan proyek NAMRU-2 AS tetap bisa berlanjut”

Kalau kita baca kembali penuturan Supari dalam bukunya bertajuk Saatnya Dunia Berubah, terasa aneh dan mencurigakan. Saat pertemuan pada 2007 itu,belum ada gagasan untuk membubarkan proyek NAMRU-2 AS yang sudah beoperasi di Indonesia sejak Januari 1974. Belakangan terungkap bahwa keberadaan NAMRU-2 AS, kewajiban pengiriman sampel virus H5N1dan kebijakan pemerintah AS mengembangkan, membuat dan mengumpulkan senjatai biologi, erat kaitannya satu sama lain.

Pada 1974, Kongres Amerika Serikat mengesahkan Undang-Undang Penelitian Nasional yang dirancang agar Pemerintah AS tidak menyerang warganya sendiri dengan menggunakan senjata kimiawip dan biologi. Ini tentu saja fakta yang cukup me menarik untuk disorot, mengingat dua tahun sebelumnya, pada 1972 AS, Uni Soviet dan 120 negara lainnya menandatangani Konvensi Senjata Biologi yang melarang pengembangan, pembuatan dan pengumpulan senjata biologi.

Pertanyaannya, mengapa kongres AS harus repot-repot membuat UU pelarangan penggunaan senjata biologi dengan penekanan agar jangan digunakan untuk menyerang warga negaranya sendiri? Jerry D. Gray, dalam bukunya yang menarik dan informatif berjudul Deadly Mist, Upaya Amerika Merusak Kesehatan Manusia, keluarnya UU tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah AS tidak punya niat baik untuk mematuhi Konvensi Senjata Biologi 1972. Dan juga tidak bermaksud menghentikan pengembangan, pembuatan dan pengumpulan senjata biologi.

Sebagaimana dikutip oleh Jerry Gray: “Menurut ideologi keluarga Bush senjata pertahanan dapat juga digunakan sebagai usaha prefentif, maka dapat juga digunakan alat penyerang, dengan kata lain untuk menyakiti, membunuh, dan menghancurkan musuh Amerika Serikat, sebelum musuh ini memiiki kemampuan untuk menyerang Amerika Serikat.”

Atas dasar ideologi Bush senior maupun Bush junior itu, pemerintah AS diyakini Jerry Gray terus mengembangkan, membuat dan menggunakan senjata biologi. Dengan dalih untuk keamanan nasional AS. Padahal ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Dalam konteks cerita ini, menarik mengikuti pertimbangan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, ketika pada 2007 mengeluarkan kebijakan strategis melarang kewajiban pengiriman tanpa syarat sampel flu burung ke WHO Collaborating Center *(WHO CC) atas perintah dan arahan  dari Global Influenza Surveillence Network-GISN). Menurut Supari,  virus yang dikirim kr WHO CC itu, setelah ditetapkan sebagai valid virus, kemudian diputuskan jadi Seed Virus. Seed Virus ini kemudian diolah dan dibuat jadi vaksin. Vaksin ini kemudian dikmersialisasikan dan dimonopoli oleh beberapa korporasi global di bidang farmasi dan obat-obatan.

Namun Supari dalam bukunya berjudul Saatnya Dunia Berubah,”sempat melontarkan sinyalemen bahwa selain untuk dasar membuat vaksin, besar kemumngkinan virus itu juga digunakan untuk membuat senjata biologi. Menariknya lagi, dalam perbimcangan dengan Margaret Chan, pejabat tinggi WHO, sempat terungkap  bahwa virus yang dikirim itu kemudian dibawa ke Los Alamos, AS, laboratorium yang berada dalam kendali kementerian energi AS. Melalui perbincangan antara Suparti dan Margaret Chan, pejabat tinggi WHO itu terkesan tidak membantah sinyalemen Supari  bahwa sampel virus yang dikirim ke WHO CC itu, juga digunakan sebagai bahan pembuatan senjata biologi.

Yang lebih mencurigakan lagi, ketika Supari ditemui perwakilan pemerintah AS bernama John Lange pada 2007, untuk mendesak agar Indonesia menghentikan gerakan global menuntut virus sharing yang adil, transparan dan setara di forum WHO, secara tiba-tiba John Lange, ketika menyadari bahwa usaha membujuk Ibu Supari gagal, kemudian mengatakan, bahwa meskipun pertemuan keduanya gagal mencapai kesepakatan, semoga hubungan bilateral RI-AS tidak berjalan baik, dan semoga Proyek NAMRU-2 AS tetap bisa berlanjut. Kenapa tiba-tiba John Lange menyebut-nyebut soal NAMRU-2 AS?

Sebagai dokter yang lebih banyak aktif sebagai peneliti, Supari mulai mencium gelagat tidak beres ketika banyak negara (termasuk Indonesia) dilanda bencana virus Flu Burung. WHO mewajibkan negara-negara yang menderita virus Flu Burung untuk menyerahkan virusnya ke laboratorium mereka.

Dalam menuturkan hal ini, mantan Menteri Kesehatan Supari sama sekali tidak menyimpulkan apa-apa. Namun dari dokumentasi percakapan antara dirinya dengan perwakilan pemerimntah AS itu, terungkap manuver Supari melalui forum WHO untuk menghentikan pengiriman sampel virus H5N1 dari negara-negara berkembang kd WHO CC, selain berakibat merugikan bagi binis farmasi yang dikendalikan skeka kapitalisme global. Pada perkembangannya kemudian berpotensi untuk dihentikannya laboratorium-laboratorium militer berkedok penelitian pemyakit-pemyakit menular seperti NAMRU-2 AS yang di Indonesia sudah ada sejak Januari 1974.

Penuturan Supari terkait ucapapan John Lange ini jelas merupakan temuan penting. Sebab ribut-ribut mengenai wacana penghentian NAMRU-2 AS itu baru berlangsung pada 2008. Padahal kebijakan pelarangan pengiriman sampel virus H5N1 ke WHO-CC atas arahan GISN, berlangsung pada 2007. Dengan demikian pada 2007 itu belum ada gagasan dari Menteri Kesehatan Supari untuk membubarkan NAMRU-2.

 

Yang Disembunyikan Media Arus Utama Amerika: AS dan Israel Dukung Nazi/Fasime di Ukraina

$
0
0

Ada sebuah fakta penting yang hingga kini selalu disembunyikan oleh media arus utama di Amerika Serikat. Bahwa Ukraina pasca lengsernya Presiden Viktor Yanukovich pada 2014, otoritas politik luar negeri AS mendukung rejim yang didukung oleh partai politik berhaluan fasisme atau NAZI. Yang mana tujuannya tiada lain untuk membendung pengaruh dari Rusia.

Dalam sebuah artikel berjudul his Is the Real, Americanized, Nazi-Dominated Ukraine mengutip sebuah artikel yang ditulis oleh Asa Winstanley bahwa selama ini pemerintah zionis Israel telah memasok bantuan senjata kepada kelompok-kelompok Nazi di Ukraina.

Asa Winstanley menekankan bahwa adalah Nazi Israel, dan bukannya Yahudi Israel, yang sesungguhnya menjadi kekuatan poilitik pendukung pemerintahan Ukraina pimpinan Presiden Poroshenko untuk menghadapi Rusia.

Dengan begitu, AS dalam mendukung rejim Presien Poroshenko menghadapi pengaruh Rusia di Ukraina, tidak segan-segan menggunakan kelompok-kelompok Nazi/fasis yang juga dapat dukungan militer dan persenjataan dari kelompok-kelompok sayap kanan Israel.

Maka praktis, AS dan Israel bersekutu untuk mendukung rejim pemerintahan Poroshenko yang bertumpu pada koalisi politik yang melibatkan partai politik Svoboda yang berhaluan Fasime/Nazi.

Pertanyaan kunci dari cerita ini adalah, mengapa media-media arus utama di AS menyembunyikan kenyataan politik ini? Bahwa penggulingan pemerintahan Presiden Yanukovich pada 2014 lalu merupakan prakarsa Presiden Barrach Obama. Dalam foto yang ditayangkan oleh https://www.strategic-culture.org/news/2018/08/07/this-real-americanized-nazi-dominated-ukraine.html menginformasikan sosok bernama Andre Biletsky yang memimpin sebuah batalion yang dipersenjatai dengan menggunakan uang pajak dari rakyat AS.

Dalam artikel ini Andre digambarkan sebagai sosok yang terang-terangan berhaluan anti Semit/Yahudi, dan sosialisme yang anti demokrasi.

Ngerinya lagi, Andre Beletsky menjelaskan bahwa salah satu agenda strategisnya ke depan adalah mendirikan Imperium Reich Ketiga, menggantikan Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler.

Ironisnya, hal semacam ini yang pada Perang Dunia II merupakan musuh utama Amerika dan Inggris, sekarang AS yang saat ini mengklaim sebagai negara pionir demokrasi justru mendukung fasime/Nazi ala Jerman Hitler di Ukraina.

Source: The Global Review

 

Meredakan Ketegangan Jelang Pilpres

$
0
0

Amanah Pemimpinnya, Sejahtera Rakyatnya, dan Berkah Negerinya

Penolakan terhadap kedatangan relawan #2019GantiPresiden, Neno Warisman, di Batam memunculkan beragam reaksi. Sebagian warga menyesalkan insiden tersebut, sebagian lain menganggap itu imbalan setimpal bagi Neno.

Mereka yang kontra dengan gerakan politik yang Neno gulirkan mengatakan, tertahannya Neno selama empat jam di bandara Hang Nadim membuat artis lawas itu bisa merasakan posisi ibu berkaus #DiaSibukKerja saat diolok-olok massa berkaus #2019Ganti Presiden saat Car Free Day di Jakarta, akhir April (29/4) silam. Tak berhenti di situ, warganet dari kelompok pendukung petahana mencoba mengulik ingatan jauh ke belakang, kembali ke masa puncak panasnya hubungan antarpendukung kontestan pilkada Jakarta 2017.

Sebetulnya, tak adil jika memukul rata kesan terhadap kedua kubu. Seolah-olah, masyarakat pasti memiliki kesamaan pandangan terhadap kasus Neno, sesuai dengan afiliasinya masing-masing. Begitu juga sebaliknya dengan kejadian lain di kubu yang berbeda.

Saya yakin, tak semua pendukung pencalonan kembali Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pilpres 2019 menganggap peristiwa yang melanda Neno patut terjadi. Demikian juga sebaliknya, tidak seluruh pendukung oposisi menjustifikasi hal-hal buruk yang pernah dialami saudara se-Tanah Air terkait preferensi politiknya.

Akan tetapi, persoalan menjadi semakin pelik saat orang dengan begitu mudahnya menarik kesimpulan atas suatu berita. Kesimpulan ditarik berdasarkan kemauannya, bukan berlandaskan fakta. Ketika berita itu disebar dan dikonsumsi orang banyak, panasnya pun semakin menyengat. Apalagi, verifikasi atas informasi memang belum membudaya di masyarakat.

Bukan hal yang mudah untuk menghilangkan sekat yang telah kokoh memisahkan selama beberapa tahun terakhir. Terlebih, provokator di jagat nyata dan maya ulet sekali mengipas-ngipasi.

Upaya untuk membuat masyarakat kembali berbaur sebetulnya telah digulirkan berbagai pihak, termasuk perorangan, kelompok masyarakat, ulama, dan pemerintah. Sikap GNPF Ulama atau Persaudaraan Alumni 212 terhadap menyeberangnya Kapitra Ampera yang dikenal sebagai pengacara inisiator gerakan 212, Habib Rizieq Shihab, ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan dukungan Tuan Guru Bajang Tengku Zainul Majdi untuk Jokowi sebetulnya bisa menjadi contoh positif cara merespons perbedaan pandangan politik.

PA 212 menyatakan aksi 212 adalah gerakan untuk menuntut keadilan atas pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bukan gerakan untuk memusuhi Jokowi ataupun PDIP. PA 212 tetap menghormati hak politik setiap warga negara. Ulama yang tergabung di dalamnya pun tetap menganggap Kapitra dan Tuan Guru Bajang sebagai kawan.

Sementara itu, Jokowi pun telah memberi sinyal untuk membuat pesta demokrasi 2019 nanti jauh dari kesan ajang gontok-gontokan. Ketika menjamu partai-partai koalisinya di Istana Bogor, Selasa (31/7), Jokowi dan sekretaris jenderal sembilan parpol tampil kasual. Jokowi mengajak semua mengendurkan urat syaraf, lebih santai menghadapi pilpres, namun tetap berpikir strategis.

Kepada masyarakat luas, Jokowi mungkin hendak berkata, “Saya yang sedang mempertaruhkan posisi RI1 saja santai menjelang pilpres, kok Anda yang tegang?”

Sementara itu, menjelang peringatan 73 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Majelis Dzikir Hubbul Wathan kembali menggelar Dzikir Kebangsaan pada Rabu (1/8). Kegiatan yang merangkul ribuan ulama dan habaib dari berbagai penjuru Tanah Air ini sudah dua kali digelar di Istana Merdeka, Jakarta. Majelis ini memanjatkan harapan akan terpilihnya pemimpin yang amanah, yang bisa membuat rakyat menjadi sejahtera, dan mengundang berkah bagi negeri.

Terlepas dari tudingan miring yang akan selalu ada di setiap kebaikan yang coba diupayakan, saya pikir esensi pilpres ada di tema Dzikir Kebangsaan tersebut, yakni “Amanah Pemimpinnya, Sejahtera Rakyatnya, dan Berkah Negerinya”. Siapapun yang nanti terpilih, yang penting pemimpin negara ini tak mengkhianati amanah, menyejahterakan rakyat, dan semua yang dilakukannya membuat Tuhan rela memberkahi negeri ini.

Menyongsong pendaftaran pasangan capres dan cawapres yang akan bersaing di pemilu 2019, mari jauhi prasangka. Berilah dukungan dengan objektif dan proporsional. Mari rajut kembali persatuan. Indonesia butuh rakyatnya bersatu untuk mengatasi banyak persoalan. Kitorang basudara kan, bro!

 

Selamat Datang di Entikong: Jalur Padat Perdagangan Manusia

$
0
0

Dari kampung halaman, Anda berbekal impian penuh bisa mengangkat kemiskinan. Anda tahu terlambat telah terjebak pasar gelap TKI ilegal.

Kisah mereka adalah kisah perjalanan ribuan kilometer, terdorong oleh kesempatan yang terbatas dan sulitnya pekerjaan, yang membuat mereka harus menyeberangi pulau, mendarat di sebuah lokasi yang tak mereka ketahui, dan belakangan menyadari mereka telah ditipu dan menjadi korban dari rantai dan jaringan perdagangan manusia.

Pada pertengahan Juli lalu saya datang ke sebuah lokasi itu, persis di tepi batas wilayah Serawak, sebuah daerah bernama Entikong, Kalimantan Barat. Dari Cengkareng, Anda mendarat di Pontianak, lalu melanjutkan perjalanan selama 5 jam dengan mobil untuk sampai ke wilayah perbatasan Indonesia dengan Malaysia tersebut.

Di sana saya bertemu dengan Budi, bukan nama sebenarnya, seorang warga Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ia terpincut oleh cerita-cerita dari para tetangganya yang bekerja sebagai buruh migran yang mendapatkan gaji gede sehingga dengan cepat, dalam beberapa tahun, mampu membangun dan memoles rumah di kampung halaman.

Impian muluk itu mendorong tekad Budi mendaftar pada agen setempat. Tanpa banyak persiapan, beberapa hari kemudian, ia bersama enam orang lain berangkat menuju Malaysia melewati Pontianak, lalu menyeberang lewat jalur darat. Pria lulusan sekolah dasar ini tanpa sadar tengah dikadali. Ia menjadi satu dari seribuan “pekerja migran Indonesia ilegal” yang setiap hari jadi masalah para pegawai perbatasan kedua negara, bahkan dalam kasus-kasus terburuk memicu ketegangan nasional.

Budi dibawa oleh tekong, sebutan warga setempat untuk calo buruh migran ilegal.

Semula ia senang bisa berangkat ke Malaysia tanpa biaya di muka, dan boleh membayar saat mulai bekerja. Semua pengeluarannya sebelum tiba ke Malaysia ditanggung tekong.

Ia dan beberapa orang lain diantar dari satu tempat ke tempat lain oleh orang berbeda. Dari kampung ia dibawa seorang pria; setibanya di Pontianak, sudah ada pria lain yang menjemput mereka.

“Kami tidak kenal siapa orang-orang itu,” ujarnya, tanpa merasa curiga pada awalnya.

Rombongan Budi melakukan perjalanan darat sekitar enam jam bersama pria kedua menuju Segumun, sebuah desa di Kabupaten Sanggau, satu dari lima kabupaten di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Serawak. Sampai di sana, orang-orang yang mengendarai sepeda motor sigap membawa mereka menyeberangi perbatasan. Namun, ojek yang ditumpangi Budi tidak melewati jalan utama menuju tempat pemeriksaan imigrasi Pos Lintas Batas tradisional di desa tersebut, melainkan berbelok ke jalan kecil menerabas hutan.

Sekitar setengah jam kemudian, rombongan pencari kerja migran itu berhenti mendadak karena berpapasan dengan patroli petugas gabungan. Kejadian selanjutnya bisa ditebak: Budi diinterogasi, ditanyai kelengkapan dokumen, dan akhirnya digiring menuju kantor imigrasi setempat.

Budi gagal kerja di Malaysia. Ia harus bersiap kembali ke kampung halaman tanpa membawa modal untuk membangun rumah.

“Agen utamanya berada di Malaysia, jadi tak bisa ditangkap,” ujar Tri Hananda Reza, Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian Entikong saat menjawab soal tantangan menghadapi buruh migran ilegal.

Reza mengatakan, untuk bisa bekerja di Malaysia, orang seperti Budi cukup membayar Rp3-7 juta kepada agen. Uang ini akan dibayar ketika tiba di Serawak. Para buruh migran ilegal jamak disalurkan untuk kerja-kerja kasar seperti buruh kebun, bangunan, dan pembantu rumah tangga, profesi yang ogah dikerjakan dan dipandang sebelah mata oleh warga Malaysia.

“Tapi, tenaga warga Indonesia dimanfaatkan oleh oknum,” ujar Reja, sedikit menghela napas. “Karena minim kesempatan kerja di daerah asal.”

 

Nasib Buruh Migran Ilegal: Jadi Mainan Tekong, Ditipu Majikan

“Kami gunduli mereka (buruh migran bermasalah) ketika tiba di Indonesia. Kami hajar. Kami perlakukan seperti penjahat. Benar-benar tidak manusiawi.”

Begitulah Eeng Suwendi, Wakil Kepala Kepolisian Sektor Entikong, menuturkan kembali caranya memperlakukan buruh migran ilegal dan bermasalah yang dideportasi ke Indonesia. Tapi, kejadian itu sudah puluhan tahun lalu, tepatnya pada 1986 saat pertama kali ia bertugas menjaga wilayah perbatasan.

Saat itu Pos Lintas Batas Negara Indonesia di Entikong belum dibangun, bentuknya masih palang kayu yang dijaga personel polisi dan tentara. Mereka menjulukinya sebagai “Pos Monyet.”

“Dulu belum punya pemahaman yang benar,” tambah Suwendi, “kami hanya tahu didikan keras menghadapi perang.”

Sudah lama Entikong dijadikan salah satu jalur keluar-masuk buruh migran ilegal. Sebagai perlintasan darat terpadat di Indonesia, setiap hari PLBN Entikong menjadi jalur dari 1.000-1.500 pelintas. Dari jumlah itu, 1.000-1.200 orang adalah pelintas WNI, sementara sisanya adalah WNA. Meski pengawasan sudah lebih ketat dibandingkan zaman Pos Monyet, masih ada saja praktik tekong dan pekerja ilegal yang berusaha melewati perlintasan resmi kedua negara.

Nasib buruh migran ilegal tak hanya sial di negeri sendiri. Meski penyiksaan di masa Suwendi telah berlalu, mereka masih menerima kepahitan-kepahitan lain. Jika Suwendi menceritakan perlakuan buruk yang pernah negara ini berikan kepada para pekerja ilegal, kisah Viktor Fernando Parulian menggambarkan tipu licik tekong dan polisi Malaysia.

“Seringkali mereka kabur karena disiksa, berhari-hari berada di hutan, sulit membedakan wilayah Indonesia atau Malaysia, padahal sudah bertemu dengan petugas kita. Ada yang sampai terkena gangguan jiwa,” tutur Parulian, Koordinator Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Entikong.

Alur perjalanan buruh migran ilegal macam Budi bermula saat majikan di Malaysia butuh tenaga kerja. Lazimnya, si majikan akan mengontak tekong dari Indonesia, meminta buruh dalam jumlah besar untuk panen sawit atau proyek pengerjaan konstruksi. Setelah menerima pesanan, tekong mencari calon buruh migran Indonesia di daerah perdesaan, bahkan terpencil. Logika tekong, orang-orang ini, yang kebanyakan berpendidikan rendah dan tak terampil dan di daerahnya minim lapangan pekerjaan, mudah dibohongi.

Pada lima kabupaten di Kalimantan Barat terdapat peta jalur-jalur ilegal yang sering digunakan penyelundup barang dan pangan, yakni Kecamatan Sanggau, Sambas, Bengkayang, Sintang, dan Kapuas Hulu. Pada Kabupaten Sanggau, mencakup Kecamatan Entikong dan Sekayam, ada 12 jalur ilegal dari Malaysia ke Indonesia.

Peta yang memperlihatkan jalur-jalur ilegal itu diberi penanda warna, tampak biasa. Detailnya, para buruh migran ilegal harus melewati sedikitnya 20 desa yang tidak dikenali, melintasi jalan berbukit, jurang, dan hutan, demi menghindari petugas border dari Indonesia dan Malaysia.

“Saat menyeberangi perbatasan biasanya sore atau malam hari ketika border mau tutup. Jalur ilegal yang dipilih serupa dengan jalur barang,” ujar Parulian.

Bila berhasil melewati perbatasan, tekong menyerahkan para buruh migran ilegal itu kepada si majikan. Dari sinilah nasib mereka kembali dipertaruhkan. Tenaga mereka diperas; majikan mengabaikan hak-hak pekerja.

Malah, untuk menghindari kewajiban membayar upah, seringkali selepas panen atau proyek hampir selesai, si majikan menghubungi polisi Malaysia agar menangkap buruh Indonesia.

“Polisi sana lebih fokus mengusir pendatang haram. Mereka tidak urus majikan yang juga melanggar aturan,” ujar Viktor Parulian.

Kantong buruh migran di Kalimantan Barat kebanyakan dari kabupaten Kubu Raya, Sambas, Mempawah, dan Singkawang. Sebelum lebaran tahun ini, Malaysia telah mendeportasi 80 orang buruh migran Indonesia yang bermasalah. Dari jumlah itu, 14 orang adalah satu keluarga dari Singkawang. Mereka ditangkap sebelum sempat bekerja, dikurung selama dua minggu, dan dipulangkan karena hanya memiliki paspor tanpa dokumen pelengkap lainnya.

Pada Maret lalu, Eeng Suwendi memergoki tujuh migran yang bermasalah, semuanya dari Pulau Jawa, yang kabur karena menghindari razia di pos penampungan di Malaysia. Mereka bertahan dua hari di tengah hutan untuk menyeberangi perbatasan tanpa membawa sehelai pakaian ganti, tanpa uang.

Sebagai buruh migran ilegal, tentu saja mereka tak mengantongi izin kerja. Masalah ini jadi penyumbang terbesar dalam kasus-kasus deportasi, sekitar 60 persen. Tiga puluh persen lain masalah seputar dokumen keimigrasian seperti paspor dan visa; sisanya perkara kriminal, sakit, atau meninggal dunia.

Pos Pelayanan, Penempatan, dan Perlindungan TKI di Entikong menyebut hingga Juni 2018 sudah ada 1.300-an buruh migran “bermasalah” yang dideportasi. Kantor Imigrasi Entikong menyebut kebanyakan buruh migran ini berasal dari Kalimantan Barat, lalu Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa Tengah.

“Nah, kalau sudah begitu bagaimana mau kami proses? Kami tidak tega karena saudara sendiri,” ujar Suwendi. “Bisa selamat dan tidak tertangkap polisi Malaysia saja sudah syukur.”

Suwendi mengatakan sikap polisi setempat terhadap “saudara sendiri” yang bermasalah telah berubah. Sekarang, ujarnya, paling banter hanya meminta surat perjanjian agar mereka tak mengulangi perbuatan tersebut.

Pemerintah Indonesia, termasuk kantor penempatan TKI di Entikong, sebetulnya terus berupaya mengatasi modus dan rantai jaringan perdagangan manusia di wilayahnya.

Viktor Paulian mengatakan pihaknya melakukan negosiasi dengan para tekong supaya menjadi agen legal yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja setempat. Tujuannya, agar mudah mengawasi praktik jasa penyalur buruh migran, sembari mengulik modus-modus pasar gelap penyelundupan manusia. Tetapi, ujar Paulian, upaya ini macet; banyak tekong yang menolak.

Mereka yang mau bekerjasama pun sulit membantu mengungkap para agen besar. Sebabnya, penyelundupan manusia punya skema seperti penyelundupan narkoba: putus kurir. Pengirim dan penerima dari satu tempat ke tempat lain dilakukan oleh orang yang berbeda dan tak saling mengenal.

Tapi, masalah paling pokok yang diakui Viktor adalah ketidakmampuan pemerintah kita membuka lapangan pekerjaan bagi warga yang minim pendidikan dan keahlian.

“Selama itu belum beres,” ujarnya, “masyarakat miskin di perdesaan dan daerah terpencil selalu jadi sasaran empuk calo-calo nakal.”

Entikong, perbatasan Kalimantan Barat – Serawak, menjadi salah satu jalur favorit jaringan penyelundupan TKI ilegal

 

Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri<
Editor: Fahri Salam
Source: Tirto.Id

Hegemoni Amerika Tertantang; Sebuah Hikmah Membangun Nasionalisme

$
0
0

Hikmah Kecil atas Perang Dolar Versus LIRA

Dinamika geopolitik global paling aktual yang layak dicermati bersama ialah currency war alias perang mata uang antara Amerika Serikat (AS) melawan Turki. Dolar versus Lira. AS mengancam Turki dengan embargo finansial akibat praktik spioanase Paman Sam di Turki dibongkar oleh Erdogan.

Secara nasionalisme Turki merupakan prestasi, namun sebaliknya justru aib bagi AS. Intelijen kok ketahuan. Trump ingin berdalih tetapi fakta-fakta sulit dielak, dan ujungnya marah lalu mengancam. Apakah dikira Erdogan takut dengan ancaman Trump? Ternyata malah di luar dugaan. Turki total melawan. Meski di mata global, “ras Turki” kerap terlihat abu-abu, sebab bagi kulit putih ia bukan ras Eropa, Arab pun tidak jelas.

Kenapa begitu, selain ia tergabung dalam NATO tapi ditolak menjadi anggota UE, juga di Turki terdapat pangkalan militer AS dimana secara geopolitik bermakna, bahwa kedaulatan Turki terutama teritorialnya tengah digerus oleh asing. Tetapi dalam kasus currency war ini, tampaknya Erdogan keras melawan. Ia tunjukkan dan buktikan kepada dunia, bahwa dalam waktu tidak lama, kurang dari sepekan Turki bisa lepas dari tekanan AS.

Bagaimana caranya? Sederhana tetapi butuh nyali besar yaitu ia serukan kepada semua bank-bank, perusahaan-perusahaan serta ke segenap rakyat Turki agar meninggalkan pemakaian US Dollar dalam setiap transaksi di dalam negeri. Seruan Erdogan direspon cepat oleh rakyat, lalu gunungan dolar pun dibakar oleh segenap komponen bangsa Turki atas nama cinta tanah air serta sedapnya rasa nasionalisme. Itulah jawaban Turki terhadap arogansi AS dalam tema currency warfare di Timur Tengah.

Agaknya, tidak hanya mencampakkan dolar sebagai simbol perlawanan, karena selain beberapa produk AS dibakar, juga atas nama jalinan persatuan kesatuan bangsa, rakyat Turki berbondong -bondong menyumbang simpanan emasnya dan terkumpul sekitar satu ton untuk mengatasi berbagai permasalahan keuangan yang sedang melilit Turki akibat digoyang oleh AS. Itulah gurihnya patriotisme Turki.

Barangkali saat ini, di kalangan pemimpin dunia, Erdogan dinilai sebagai strong leader atau sosok pemimpin yang kuat serta disegani. Terbukti selain gerakan meninggalkan dolar didukung oleh Cina dan Rusia, ia juga dibantu Emir Qatar ratusan triliun untuk kuatkan mata uang lira agar kembali stabil.

Inilah fenomena dahsyat. Betapa untuk saat ini, di atas permukaan, US Dollar tidak dipakai lagi sebagai alat transaksi di Turki. Entah kalau di bawah permukaan. Dan atas peristiwa tersebut, sekurang-kurangnya ada hikmah tersirat bahwa ketika sebuah bangsa memiliki presiden yang kuat, cerdas, berani serta punya nasionalismenya tinggi, maka tidak mudah dipermainkan di panggung global.

Lantas, bagaimana kelanjutan peperangan antara lira versus dolar di Turki? Hingga kini masih berlangsung. Entah nanti ujungnya seperti apa. Unpredictable. Kelak, bukan soal siapa kalah atau mana yang akan menang, tetapi hal ini merupakan potret nyata bahwa pembangkangan dan perlawanan terhadap hegemoni AS adalah fenomena yang senantiasa menggeliat kendati perlahan.

Secara data, beberapa negara yang tidak sepenuhnya memakai US Dollar dalam traksaksi perdagangannya adalah Rusia, Cina, Iran, Jepang (?) dan kali ini Turki.

Mengakhiri catatan kecil ini, beberapa poin menarik perlu diambil atas peperangan mata uang di atas, antara lain:

Pertama, kepemimpinan yang kuat diperlukan pada sebuah bangsa agar tidak dipermainkan oleh negara lain/adidaya;

Kedua, rasa dan cinta tanah air (nasionalisme) mutlak harus ditanamkan kepada setiap warga negara di usia dan di strata apapun, agar bila menghadapi situasi (darurat) tertentu —dari perspektif geopolitik— mampu menjadi “amunisi dahsyat” bagi kedaulatan sebuah bangsa;

Ketiga, selain jiwa nasionalisme ditanamkan sejak dini, juga rasa persatuan dan kesatuan terus dipupuk sepanjang masa di suatu negara.

Demikianlah pointers yang bisa dipungut dalam peristiwa currency warfare antara dolar versus lira.

Terima kasih

  • Oleh: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

 

Memahami Asumsi What Lies Beneath the Surface dan Geopolitical Flashpoint dalam Implementasi Geopolitik

$
0
0

Contoh Kasus di Jalur Selat Lombok

Konflik apapun, baik di tataran lokal, regional maupun global niscaya memiliki korelasi kuat dengan apa yang disebut what lies beneath the surface. “Apa yang terkandung di bawah permukaan.” Maksudnya ialah, bagi wilayah, daerah dan/atau jalur-jalur yang mempunyai potensi besar SDA seperti emas, minyak, gas, dan lain-lain termasuk jalur transportasi dan distribusi baik darat maupun jalur perairan merupakan geopolitical flashpoints. Artinya pada jalur-jalur tersebut perlu fokus, jeli dan harus cermat dalam penanganan bila muncul isu-isu di permukaan. Niscaya ada hidden agenda. Kenapa? Bahwa asumsi konflik lokal merupakan bagian konflik global sering kali menjadi keniscayaan global dalam dinamika geopolitik. Artinya ada setting atau rekayasa. Konflik atau apapun peristiwa yang muncul di permukaan adalah by design.

Setiap isu yang muncul perlu breakdown secara komprehensif. Kenapa isu timbul, bagaimana ia mengalir dan kemana isu nanti berlabuh. Contoh paling aktual, misalnya, ketika ada kebakaran sekitar 40-an kapal di Benoa, Bali, ini masuk area Selat Lombok, hal itu merupakan isu strategis dan perlu didalami secara intensif. Mengapa? Karena Selat Lombok merupakan lintasan utama bagi alur pelayaran/transportasi laut Australia dari/ke seluruh negara-negara tujuan baik untuk ekspor-impor, pariwisata, maupun bagi distribusi barang dan jasa lainnya.

Konon 80-an persen APBN Australia sangat tergantung Selat Lombok. Retorikanya adalah, “Apa yang akan terjadi jika Selat Lombok tertutup atau ditutup bagi lintasan kapal-kapal asing karena sesuatu hal?” Ya tentu, ia akan melambung jauh ke Papuan New Geunie, atau melalui Selat Sunda, dan seterusnya. Hal ini tentu akan menimbulkan high cost economy yang berefek domino pada produknya tidak lagi kompetitif, PHK, meningkatnyà pengangguran, merebak kriminal, dan seterusnya.

Oleh karena faktor ketergantungan (terhadap Selat Lombok) tadi, Australia kini membuat progam advance national interest, dimana salah satunya adalah simulasi outflow alur perkapalan alternatif selain Selat Lombok jika suatu saat timbul gangguan di alur laut utama tersebut.

Dari perspektif keamanan baik keamanan lokal, regional maupun global, jalur ini dinilai sebagai geopolitical flashpoints, seperti Selat Hormuz di Iran, atau Terusan Suez di Mesir dan seterusnya. Jadi, tatkala ada isu kebakaran 40-an kapal di Benoa, salah satu pelabuhan di area Selat Lombok, maka agenda berikutnya bisa ditebak — kemungkinan Australia bakal menawarkan kerjasama dan/atau bantuan untuk recovery pelabuhan dan dermaga yang terbakar. Itu agenda terbukanya. Dan (hidden agenda) langkah selanjutnya —skema dominasi— ialah mengendalikan Selat Lombok, pintu masuk ALKI II dari arah selatan. Nah, sampai disini, sinyalir geopolitik mengendus bahwa skema tersebut merupakan keniscayaan bagi geostrategi Australia akibat faktor geoekonomi terutama transportasi lautnya tergantung pada Selat Lombok.

Terima kasih

  • Oleh: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

 


Strategi Perang Dagang: Intelijen dan Gotong Royong!

$
0
0

Permenungan Kecil Tingkat Embuh

Tak bisa dipungkiri, bahwa aspek ekonomi —atau silahkan dikiyas atau diumpamakan ke sektor dan entitas lain— pada perang dagang (trade war) yang kini aktual karena dilaunching oleh Donald Trump, ternyata tak cuma zero sum game alias bukan soal menang atau kalah saja, tetapi yang utama dalam proses ekonomi dimana ada nilai tambah dari setiap sesuatu atas obyek yang ditransaksikan. Bagaimana cara mengoptimalkan nilai tambah tadi melalui jalin komunikasi, koordinasi, terutama sinergi maupun kolaborasi oleh para pihak.

Tengoklah pengalaman dan contoh di tingkat (ekonomi) global. Ketika Facebook (FB) dahulu memutuskan untuk berkolaborasi dengan para kompetitornya seperti Instragram (IG) tahun 2012 dan Whatsapp (WA) tahun 2014, meski saat itu sebenarnya reputasi IG dan WA jauh di bawah FB, namum toh tetap dirangkul juga. Selanjutnya, apa yang kemudian terjadi? Bahwa FB, IG dan WA kini menjadi tiga aplikasi raksasa dunia di media sosial. Hingga kini tak tergoyah di papan atas.

Sekarang lihat contoh peristiwa kebalikannya (menolak) dari sinergi seperti tiga raksasa aplikasi di atas. Tatkala Nokia menolak tawaran Android (2011) untuk kolaborasi karena dianggap sistem Android (Newbie System) tidak lebih baik daripada Windows yang kala itu juga dipakai Nokia serta dinilai tidak sukses, atau contoh lain, Yahoo menolak tawaran Google (2002) dengan alasan mahal dan memang reputasi Google saat itu di bawah Yahoo. Lantas, apa yang terjadi dari dua peristiwa penolakan kolaborasi tersebut? Dalam sekejab, Nokia ditinggal jauh oleh Android, pun demikian juga dengan reputasi Yahoo kini dilibas oleh Google.

Nah, dari cerita tentang FB, Nokia, Yahoo dan lain-lain di atas tadi, ada pointerskecil yang bisa dipetik, yakni:

1) Bahwa strategi merangkul lebih baik ketimbang menyerang/berhadap-hadapan dengan pihak lawan/kompetitor;

2) Sebuah keberhasilan itu, selain identik dengan keberanian mengambil resiko, juga kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan/atau mengikuti arus perubahan tanpa harus menghilangkan ciri dan identitas; dan

3) Tidak menganggap remeh terhadap sesuatu yang saat itu berada di bawahnya.

4) Kesediaan bermitra dengan kompetitor meski konsekuensinya adalah kesejajaran, kesederajatan, dan lain-lain karena memang dalam kemitraan ada pihak-pihak yang secara reputasi berada di atas dan/atau di bawah. Istilahnya kelegowoan;

5) Perlunya intelijen ekonomi yang mumpuni guna memprediksi kondisi (perekonomian) di masa akan datang dengan berbasis data-data riil, bukan hanya opini. Tentunya FB, Android atau Google niscaya mempunyai intelijen ekonomi ketika memutus berkolaborasi. Selanjutnya, maksud data riil disini contohnya, ketika coklat di Sulsel hanya berharga seribu rupiah, tetapi di Singapura menjadi dua puluh ribu, maka selisih Rp 19.000,- harus bisa diurai oleh intelijen ekonomi agar bisa kembali ke daerah, dan seterusnya.

Jadi, bila merujuk peristiwa di atas, bahwa kredo dalam perang dagang sejatinya bukan saling bantai, atau saling menjatuhkan dalam kompetisi, tetapi melakukan kolaborasi dan sinergi untuk mencapai tujuan bersama (nilai tambah). Saling menguntungkan para pihak. Dan sudah tentu akan ada kesepakatan sebelumnya khususnya pointers krusial terkait nilai tambah (benefit) dimaksud. Disini peran intelijen ekonomi bermain.

Intinya adalah kerja sama yang didasari info intelijen, bukan asal kolaborasi, atau monopoli dan tidak pula dominasi. Nah, untuk frasa kerja sama ini, local wisdom leluhur kita menyebut: Gotong royong!

  • Oleh: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
  • Source: The Global Review

 

Geopolitik Membaca Gerak Perubahan Metode Kolonialisme

$
0
0

Apa yang disebut pakar, entah itu pakar ekonomi, atau pakar politik, pakar marketing, sosial budaya, dan lain-lain sejatinya ia hanya man power (tenaga ahli) dari sebuah sistem. Ya man power atas metode yang secara intens digunakan oleh “sistem” tersebut.

Terkait tren geopolitik global akhir-akhir ini, sebenarnya hanya sebuah konsekuensi atas dinamika dari sistem kolonialisme (penjajahan) di muka bumi, dimana isu global paling aktual selain pergeseran epicentrum geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik, juga terbaca ada perubahan power concept dari kekuatan militer ke power ekonomi dalam konstelasi geopolitik. Oleh karena itu, silahkan cermati kemana “metode” para adidaya bergerak dan bermuara maka disitulah (asumsi) bersemayam proses penjajahan. Istilahnya, “follow the methode“. Mari kita cermati baik dari hulu ataupun hilir secara simultan.

Sebelum jauh melangkah, sebaiknya membahas sekilas ideologi di balik kolonialisme. Tak boleh dipungkiri, bahwa sistem kolonialisme apapun, basisnya adalah kapitalisme dan komunisme. Kenapa? Keduanya serupa tapi tak sama, berbeda tetaplah sama. Jika ciri kapitalis itu monopoli modal atau akumulasi kapital, sedang ciri komunis adalah akumulasi massa atau monopoli (kekuatan) rakyat. Watak keduanya sama, yakni mencari bahan baku semurah-murahnya dan mengurai pasar seluas-luasnya.

Tatkala komunis Cina kini telah mengubah diri menjadi negara kapitalis —one country and two system— hakikinya tidak ada kendala signifikan dalam proses perubahan dimaksud karena komunis merupakan kapitalis plat merah, atau kapitalis negara. Justru itulah puncak kesaktian kolonialisme di muka bumi karena mampu menggabungkan dua ideologi —basis kolonialisme— dalam satu tarikan nafas.

 

Apabila di masa klasik doeloe, modus penjajahan cenderung memakai kekuatan militer untuk meluaskan hegemoni, maka di era kini, kolonialisme lebih mengkedepankan power ekonomi. Soft power. Tanpa hiruk-pikuk militer (hard power) bisa menduduki target, kendati kerap masih dijumpai penggunaan smart power yakni gabungan antara hard power dan soft power namun dengan intensitas berbeda. Itulah perubahan power concept dalam dinamika geopolitik global sebagaimana sepintas diurai di muka.

Dalam konteks kolonialisme, bila melihat mall, supermarket, hypermarket, dan seterusnya sesungguhnya itulah implementasi the law of capital accumulations, teori Karl Marx tentang hukum akumulasi kapital. Arahnya kemana? Tak lain adalah memakan perusahaan kecil atau mencaplok level di bawahnya. Ya, hypermarket melumat toko-toko kecil, supermarket menggilas warung-warung kelontong di sekitarnya. Itulah praktik kolonialisme modern di depan mata atas nama modernisasi, tren peradaban, dan seterusnya.

Ketika mereka (kaum kapitalis dan komunis) menguasai sumber-sumber raw material seperti pertambangan, kehutanan, air, bahan mineral, dan lain-lain melalui dukungan dua lembaga penyedot dana publik yakni bank dan pasar modal, maka arahnya ialah guna berlaga di persaingan pasar agar produknya berharga murah, tentu akan memenangkan kompetisi, serta pasarnya kian meluas. Sekali lagi, itulah wataknya, mencari bahan baku semurah-murahnya serta mengurai pasar seluas-luasnya.

 

Keberadaan BUMN di negara manapun selalu menguasai sektor-sektor strategis terkait hajat hidup orang banyak, seperti air misalnya, atau pangan, energi, dan seterusnya juga listrik, telekomunikasi, transportasi beserta simpul-simpul (pelabuhan udara dan laut)-nya, dan seterusnya.

Nah, menjadi keniscayaan bahwa BUMN pun tak akan lepas dari incaran dan target ekspansi kolonialisme secara soft power semacam privatisasi, misalnya, dan modus privatisasi ini selain melalui perubahan UU agar setiap kebijakan pro pasar dan swasta, juga yang teraktual kini melalui debt trap alias jebakan utang yakni melalui gelontoran utang bunga tinggi dengan tempo singkat terhadap proyek-proyek infrastruktur ke negara cq BUMN-nya.

Ketika negara target tidak mampu mengembalikan utang plus bunga sesuai tempo maka aset-aset strategis dari negara dimaksud pun diakuisisi. Inilah modus debt trap. Hal ini telah terjadi di beberapa negara seperti Srilangka, Maladewa, Angola, Zimbabwe, Djibouti, dan lain-lain. Itulah modus paling aktual dalam skema penjajahan gaya baru atau modern.

Merujuk uraian di atas, tampaknya tesis John Adams Jr (1735-1826) kini terbukti, “Ada dua cara menaklukkan sebuah bangsa. Pertama, dengan pedang/militer, kedua melalui utang”.

Sampun…

Oleh: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Source: The Global Review

 

Yang Dipertaruhkan Saat Negara Menerima Bantuan Asing untuk Bencana

$
0
0

Pemerintah Indonesia pernah menerima dan menolak bantuan internasional untuk penanganan bencana.

Bantuan internasional membuat penanganan bencana alam bukan sekadar aksi kemanusiaan dan filantropisme, tapi juga bersifat politis. Konstelasi negara yang dilanda bencana dalam tata politik dunia dan relasinya dengan negara pemberi bantuan memengaruhi kondisi itu.

Dua hari setelah gempa disertai tsunami memporakporandakan Donggala, Palu, dan Sigi di Sulawesi Tengah pada Jumat (28/9/2018), Presiden Jokowi dikabarkan telah memberikan wewenang kepada jajarannya untuk menerima bantuan dari dunia internasional. Pada Senin (1/10/2018), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan keputusan menerima bantuan internasional diambil atas “kebutuhan untuk meringankan saudara-saudara di Palu dan sekitarnya.”

Mantan Panglima TNI itu menegaskan, United Nation Development Programme (UNDP) dan 18 negara sudah menawarkan bantuan. Sebanyak 18 negara itu meliputi Amerika Serikat, Perancis, Ceko, Swiss, Norwegia, Hungaria, Turki, Uni Eropa, Australia, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, Qatar, Thailand, India, dan Cina. Namun, bentuk bantuan yang diberikan masih sumir.

Langkah yang ditempuh pemerintahan Jokowi mengingatkan kembali pada gempa disertai tsunami yang menghancurkan wilayah Sumatra bagian barat, terutama di pesisir utara dan barat Aceh, pada 26 Desember 2004. Gempa berkekuatan IX skala Mercalli dan 9,1-9,3 skala Moment itu menewaskan sekitar 200 ribu orang dan meluluhlantakkan puluhan ribu bangunan di Aceh.

Aceh seketika lumpuh. Pemerintah Indonesia yang kala itu dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengambil kebijakan menerima bantuan internasional guna menangani wilayah yang terdampak. Tidak hanya aliran dana dan logistik, namun relawan, termasuk tentara, dari luar Indonesia pun berbondong-bondong masuk ke Aceh. Kebijakan serupa juga ditempuh pemerintah negara-negara lain yang turut tersapu gelombang gempa dan tsunami yang berpusat di Samudera Hindia, sekitar 160 km sebelah utara pulau Simeulue, itu.

Guardian melaporkan sebanyak 6,25 miliar dolar AS disalurkan PBB untuk 14 negara terdampak tsunami. Jatah paling besar didapat Indonesia yakni 1 miliar dolar AS, disusul Sri Lanka (651,6 juta dolar AS) dan India (150,6 juta dolar AS).

Laporan yang dilansir Stockholm International Peace Institute menyebutkan akumulasi bantuan dari 35 pasukan militer negara lain meliputi 75 helikopter, 41 kapal, 43 pesawat jenis fixed-wing, dan lebih dari 30 ribu personel yang terdiri atas pengendali lalu-lintas udara (ATC), tim medis, dan tukang. Endriartono Sutarto, panglima TNI saat itu, meminta bantuan secara langsung kepada militer Australia, Malaysia, New Zealand, Singapura, dan AS.

Indonesia, di bawah pemerintahan Presiden SBY periode pertama, juga membuka keran bantuan luar negeri untuk penanganan gempa di Yogyakarta (2006) dan Sumatra Barat (2009).

Kasus Lombok Bukan yang Pertama

Namun, tidak pada setiap bencana pemerintah suatu negara menerima bantuan internasional. Pemerintahan SBY periode kedua di Indonesia, misalnya, tidak membuka keran bantuan luar negeri ketika dua bencana terjadi dalam rentang kurang dari 24 jam pada 25-26 Oktober 2010. Saat itu, gempa disertai tsunami menghantam Kepulauan Mentawai dan gunung Merapi meletus di Yogyakarta. Kementerian Luar Negeri mengumumkan pada 29 Oktober 2010—tiga hari setelah mula bencana terjadi—bahwa “Pemerintah Indonesia masih mampu menangani situasi itu sendiri dan bantuan dari sumber-sumber asing pada saat ini tidak diperlukan.”

Pemerintahan Presiden Jokowi pun berlaku demikian kala gempa menerjang Lombok, Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2018. Kepala Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan pemerintah pusat dan daerah masih sanggup menanganinya.

“Kita ingin menunjukkan bahwa kita sanggup, mampu mengatasi bencana yang ada di Lombok. Potensi nasional masih sanggup, yang kita tegakkan bahwa Indonesia adalah negara yang kuat, negara yang tangguh menghadapi bencana. Perkara nanti bantuannya penuh dari pusat tidak apa-apa, kita tegakkan tetap keberfungsian pemerintah daerah,” ujar Sutopo.

Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir besar yang melanda wilayahnya pada 2007. Banjir tersebut menewaskan 650 orang. Sedangkan saat gempa melanda Sichuan pada 2008, pemerintah RRC menolak bantuan relawan asing, meskipun menerima bantuan dana dan logistik dari luar negeri.

Pemerintah Jepang juga menolak bantuan internasional untuk penanganan gempa Kobe pada 1995 dan gempa disertai tsunami yang menerjang Tohoku pada 2011. Gempa yang melanda Kobe itu menewaskan 5200 orang, melukai 30 ribu orang, menelantarkan 300 ribu orang, dan menghancurkan 110 ribu gedung. Sedangkan 16 ribu orang meninggal, 6100 orang luka-luka, 2601 orang hilang, dan 127.290 gedung hancur setelah gempa melanda Tohoku.

Xenofobia dan Reputasi Negara

Kebijakan menerima atau menolak bantuan internasional memiliki kompleksitasnya sendiri. Kerumitan itu datang dari seberapa besar kadar xenofobia (ketakutan terhadap yang asing) masyarakat. Penanganan korban gempa-tsunami di Aceh ialah salah satu contoh. Pernyataan para elite dan pemberitaan media berpengaruh terhadap xenofobia yang menjalar seiring datangnya bantuan internasional.

“Indonesia and the Tsunami: Responses and Foreign Policy Implications” (2006) yang disusun Rizal Sukma mencatat sejumlah isu terkait itu. Ia mengutip ucapan Syamsir Siregar, saat itu berkantor di Badan Intelijen Negara (BIN), yang percaya militer luar negeri—utamanya AS dan Australia—punya agenda tersembunyi yakni menguatkan kendali mereka atas Selat Malaka.

Isu lain diembuskan pihak militer Indonesia. Mereka takut kelompok relawan internasional bakal membantu Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Isu lain yang juga berembus yakni kristenisasi warga Aceh oleh militer luar negeri. Para anggota PKS dilaporkan memajang poster di tempat-tempat publik yang mengimbau, “Jangan biarkan anak yatim Aceh diambil orang Kristen dan misonarisnya”.

Hilmy Bakar Almascaty, salah satu pimpinan Front Pembela Islam (FPI), berkoar bahwa peringatan dan serangan diperlukan apabila para pendatang tidak menghormati hukum syariah dan tradisi di Aceh. Petinggi PKS Hidayat Nur Wahid kemudian mengatakan tentara luar negeri mesti pergi dalam waktu 1 bulan.

Menanggapi xenofobia tersebut, Wakil Presiden Jusuf Kalla malah mengeluarkan pernyataan yang menguatkannya. “Orang asing mesti keluar dari Aceh segera mungkin,” katanya.

Sementara itu, cara India menerima atau menolak bantuan internasional juga menyangkut persaingan antar-negara. Sebelum 2004, India selalu menerima bantuan internasional ketika gempa melanda Uttarkashi (1991), Latur (1993), Gujarat (2001); siklon menerjang Bengal (2002); lalu banjir menggenangi Bihar (2004). India juga menerima bantuan internasional kala dilanda gempa-tsunami yang turut menerjang Aceh. Di India, ada 12 ribu orang meninggal akibat gempa-tsunami tersebut.

Namun, pada 2004 pula, India menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir di Kashmir (wilayah perbatasan India-Pakistan) yang merusak 2.500 desa. Sejak memisahkan diri dari India pada 1940-an, Pakistan bersaing dengan India untuk menjadi penguasa tunggal yang sah atas Kashmir. Tapi justru di tahun ini juga, India memberikan bantuan kebencanaan kepada Pakistan. India juga menolak bantuan internasional saat gempa di wilayahnya menewaskan 1.300 orang pada 2005 dan banjir di Uttarakhand dan Kashmir pada 2013.

Allison Carnegie dan Lindsay Dolan menuliskan dalam makalah berjudul “The Effects of Aid on Recipients’ Reputations: Evidence from Natural Disaster Reponses” bahwa India termasuk negara yang menolak bantuan internasional agar dinilai sebagai negara berkompeten, meskipun negara itu masih membutuhkannya.

Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Source: Tirto.Id

Diplomasi Pertahanan Menhan Ryamizard ke AS, Sukses

$
0
0

Pada saat ini para pengamat intelijen di dunia mengamati dengan serius perkembangan geopolitik dan geoekonomi yang sedang terjadi dan dipastikan akan semakin berpengaruh terhadap kelangsungan hidup sebuah negara. Sebagai contoh kegagalan Venezuela yang semakin dilanda krisis terparah di dunia, inflasinya super tinggi, mencapai satu juta persen, uang menjadi tidak ada harganya. Dahulunya negara ini diberikan karunia oleh Tuhan dengan minyak berlimpah, yang kini terjadi justru negara ini hampir bangkrut. Kesalahannya jelas pada manusianya, setelah  Hugo Chavez meninggal dunia.

Dalam menyikapi perkembangan dunia yang semakin tricky dan complicated, kita harus pandai, cerdas dalam membacanya. Komponen intelstrat di negara manapun mengamati pergeseran area konflik dari kawasan Eropa dan Timur Tengah ke kawasan Asia Pasifik. Ada tiga negara yang dicermati para analis, yaitu Amerika, China (Tiongkok)  dan Rusia. Sederhana membacanya, AS memainkan strategi diplomasi kekuatan militer, China menggunakan kekuatan dan  kemampuan  ekonomi, dan Rusia dengan operasi intelijen berupa perang hybrida.

Jenderal Mattis sebelumnya menjabat sebagai Panglima Komando Pusat Amerika Serikat ke-11, sebuah Komando Tempur Gabungan yang bertanggung jawab untuk operasi militer Amerika di Timur Tengah, Afrika Timur Laut, dan Asia Tengah, dari 11 Agustus 2010 hingga 22 Maret 2013.
 

Dari sisi geopolitik dan geostrategi, maka aktor utamanya di kawasan Asia Pasifik adalah Amerika dengan China. Kita tahu terjadinya perang dagang antar keduanya, yang mengimbas demikian banyak negara di dunia. Indonesia termasuk salah satu korban akibat dua gajah yang saling bersikukuh dan merasa merekalah yang berkuasa.

Pandangan Pemerhati Australia Terhadap Indonesia

Profesor Stephen Smith, Mantan Menteri Pertahanan/Mantan Menteri Luar Negeri beserta beberapa tokoh dan penulis di Australia beberapa waktu yang lalu menyusun sebuah laporan (Perth USAsia Centre Special Report) dengan judul Expanding Horizons: “Indonesia’s Regional Engagement in the Indo-Pacific Era.” Dimana laporan tersebut menilai tentang peluang dan tantangan yang dihadapi Indonesia di bidang ekonomi, keamanan serta peran diplomatik Indonesia di Indo-Pasifik.

Laporan menyebutkan, bahwa Indonesia telah lama menjadi negara yang penting secara sistem di kawasan Asia. Wilayah dan penduduknya yang besar, pertumbuhan ekonomi yang berkecepatan tinggi, serta lokasi strategisnya di sepanjang poros maritim utama Asia telah mendudukkannya sebagai pemain sentral dalam semua perkembangan ekonomi dan keamanan di kawasan ini.

Jenderal Ryamizard dengan penyamaran tempur (Foto : Soundcloud)
 

Pada tahun 1998, prioritas kebijakan utama pemerintah Indonesia lebih difokuskan kepada masalah domestik: “mengkonsolidasikan transisi demokrasi dalam sistem politik, mengelola tantangan keamanan internal yang kompleks, dan mendorong transformasi ekonomi melalui industrialisasi dan urbanisasi”. Sementara negara lainnya melakukan peran aktif dalam beragam proses ASEAN di Asia Tenggara. Indonesia dinilai belum menyatakan diri sebagai pemimpin di kawasan Asia untuk tataran yang lebih luas.

Ketika lembaga demokrasi melakukan konsolidasi, negara semakin mendapatkan kapasitas untuk lebih aktif terlibat dalam inisiatif regionalisme. Pertumbuhan yang konsisten dan berkecepatan tinggi menjanjikan untuk menjadikan Indonesia mesin penggerak pertumbuhan ekonomi di Asia. Pada saat yang sama, gagasan tentang siapa dan apa yang membentuk Asia sedang berubah, dengan model “Asia-Pasifik” yang lebih tua memberi jalan kepada konsep ‘Indo-Pasifik’ yang diperluas secara geografis.

Mengingat posisi strategisnya berada di titik tumpu Pasifik dan Samudera Hindia, ‘pergeseran Indo-Pasifik’ ini memberi arti bahwa  Indonesia harus siap menjadi sebuah kekuatan regional yang signifikan. Bagaimana Indonesia menjalankan peran ini, jelas  akan memiliki dampak yang berkesinambungan terhadap arsitektur ekonomi, keamanan dan diplomatik di kawasan ini. .

Jenderal Pur James Mattis, Marinir (foto : en.mogaznews)

 

Diplomasi Pertahanan Menhan Ryamizard ke AS

Dari perkembangan pergeseran geopolitik Asia Pasifik kepada konsep Indo Pasifik yang digagas oleh AS, maka Indonesia dari sisi posisi geografis dinilai menjadi negara  sentral kawasan regional yang sangat diperhitungkan oleh negara-negara di sekitarnya. AS dengan cepat membaca kebutuhan Indonesia menjadi mitra dalam persaingannya  dengan China (Tiongkok), AS tidak suka dengan ulah China yang semakin reaktif dan ganas dalam menguasai kawasan Laut China Selatan.

Pada era pemerintahan Presiden Obama pada tahun 2009 saat menggeser kepentingan AS dalam konsep Rebalancing, Obama menyatakan membutuhkan Malaysia dan Indonesia sebagai mitra, disamping AS sudah memiliki beberapa negara sekutu di kawasan Asia Tenggara. Malaysia menolak karena PM Najib lebih dekat ke China, akhirnya pada pemilu 2018 lalu Najib jatuh karena kasus korupsinya dibongkar oleh FBI dan US Department of Justice. Najib dikalahkan oleh DR Mahathir Mohamad dan bahkan kini ditahan. Selama ini diakui ataupun tidak, ada hambatan dalam pelaksanaan hubungan bilateral Indonesia-AS dalam arti lemahnya pembangunan kepercayaan yang lebih mendalam.

Saat menjadi Kasad Menhan RI Ryamizard membangun pasukan Raider (“Kalau 20 batalyon itu benar-benar Raider, bangsa ini tak perlu takut lagi. Bayangkan, 60 batalyon digerakkan, itu luar biasa,” katanya), Foto : detikmiliter.
 

Ada bisik-bisik di AS kalimat sensitif,  “Give a name that I can trust.” Hal ini berarti bahwa  mereka menilai sulit menemukan pejabat Indonesia yang bisa dipercaya. Tanpa  perlu disebutkan, beberapa kabar menyebutkan, banyak pejabat Indonesia mencoba menembus barrier ke AS, tetapi gagal. Walau mencapai mainland, beberapa hanya dapat bertemu second layer dan kalaupun bertemu dengan first layer tidak menghasilkan apa-apa yang konkrit.

Nah, di saat paceklik itu, terjadilah pertemuan dan komunikasi antara dua pejabat kedua negara yang unik dan menarik. Mereka adalah Menteri Pertahanan AS  Lt General (Ret) James Mattis (call sign Mad Dog) dengan Menhan RI, Jenderal Purn Ryamizard Ryacudu. Dalam beberapa pertemuan, kedua Old Soldier itu dengan julukan Jenderal perang  nampak cocok dalam  berfikir dan komunikasi serta persamaan karakter yang keras, tegas  khas militer. Mattis  dari Korps Marinir, Ryamizard dari Raiders Baret Hijau. Keduanya pernah bertemu dalam beberapa kali Shangrilla Dialogue , pertemuan informal dan pertemuan bilateral saat serah terima Panglima IndoPacific di Hawaii tanggal 29 Mei 2018, serta kunjungan Mattis ke Jakarta. Nah, kali terakhir pada akhir Agustus, Menhan RI berkunjung ke AS memenuhi undangan sahabatnya itu.

Dalam kunjungan tersebut misi diplomasi Kemhan RI terdiri dua kelompok, Menhan didampingi  oleh Bapak Sonny Dubes RI di Washington; Letjen Thamrin Marzuki, Irjen Kemhan; Mayjen Mohamad Nakir, Dirjen Strahan Kemhan dan beberapa staf pendamping. Sementara tim Menhan lainnya yaitu Tim Anstra (Analis Strategis) melakukan kunjungan ke kalangan intelijen AS serta ekonom yang berpengaruh di AS dan juga lingkungan Jared Khusner.

Sebelum memasuki Pentagon, Menhan RI Ryamizard didampingi Menhan AS Mattis menerima penghormatan salvo meriam 21 kali (foto : detikNews)
 

Kedatangan Menhan RI, diperlakukan bak kepala negara oleh Mattis, dimana saat tiba di Pentagon, Menhan AS memberikan tembakan meriam sebanyak 21 kali, penghormatan tertinggi  (highest honour) sebuah tradisi militer AS. Sesuatu hal yang tidak pernah dilakukannya kepada pejabat manapun. Selain itu Menhan RI juga dijamu diruangan kerja Menhan AS, yang oleh Mattis dikatakan pertama kalinya ada tamu yang diajak masuk ke ruangan kerjanya.

Dalam bilateral meeting, Menhan Ryamizard memandang Jenderal Mattis adalah sahabat terdekatnya yang sangat istimewa untuk dibandingkan rekan menhan-menhan lainnya di dunia, bahkan Ryamizard mengganggapnya sudah seperti saudara sendiri. Juga diungkapkan  persahabatan keduanya  menjadi landasan kesamaan cara pandang tentang pentingnya  peningkatan hubungan kerjasama Pertahanan kedua negara demi mewujudkan kepentingan yang dilandasi oleh nilai-nilai kemanuasiaan  demi terwujudnya kawasan yang damai, aman, stabil dan sejahtera. Menhan Ryamizard menyampaikan beberapa hal.

Menhan RI sependapat dengan konsep Kebijakan  Free and Open Indo Pasifik (FOIP) yang membuktikan peran  signifikan dalam membangun stabilitas di kawasan Indo Pacific dengan Mengedepankan Pendekatan  Aspek Ekonomi; Penekanan prinsip inklusifitas dengan menegaskan bahwa FOIP tidak ditujukan terhadap negara tertentu; serta  Mengakui pentingnya posisi ASEAN sebagai regional construct utama di Kawasan Indo – Pasifik.

Diplomasi sukses Menhan RI Ryamizard Ryacudu, dimana berhasil meyakinkan Menhan AS James Mattis, untuk membantu keluarnya persetujuan parlemen AS dalam pembelian 11 pesawat Sukhoi-35 yang tadinya AS keberatan, proses waiver sukses (foto : youtube)

 

Ryamizard  menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada Jenderal Mattis yang telah bisa meyakinkan parlemen Amerika Serikat untuk memberikan waiver kepada Indonesia terkait dengan Kebijakan Sanksi Pembelian Alutsista Rusia (CAATSA), pelarangan pembelian alutsista Sukhoi-35  dari Rusia.  Kedepan Indonesia merencanakan untuk membeli beberapa produk Alutsista Buatan Amerika Serikat seperti pesawat Boeing, pesawat C-130J Hercules, serta rencana pembelian beberapa pesawat Angkut Berat lainnya. Tetapi yang pasti Indonesia akan makin kuat apabila Su-35 sudah tiba.

Dalam masalah kontra terorisme, di Filipina Selatan menurut Menhan RI  telah dijadikan sebagai salah satu basis kekuatan ISIS yang dapat ikut memicu aksi-aksi teror lain di kawasan Asia Tenggara. Kita juga menghadapi ancaman Generasi Ketiga ISIS yaitu kembalinya para Pejuang Terorisme paska Alqaeda dan Pembentukan ISIS di Syria dan Irak. Kita berharap Amerika dapat berpartisipasi dalam kerjasama Trilateral dan Our Eyes.

Khusus dengan  krisis Rohingnya di Rakhine State Myanmar.  Diperlukan langkah konkrit dan penangan bersama dikawasan yang tepat sasaran. Karena bila tidak ditangani dengan baik dan benar, para pengungsi yang rapuh ini, dapat direkrut oleh kelompok ISIS untuk memperkuat jaringannya.

Terkait Isu ketegangan di semenanjung Korea, Indonesia  sangat mengapresiasi langkah AS untuk melakukan pendekatan Diplomasi untuk mendamaikan Korea Utara dan Korea Selatan.  Kami berharap AS dapat tetap memainkan peran diplomasinya untuk mendamaikan kedua Korea.  Indonesia  mengajak semua pihak untuk tidak terprovokasi dengan situasi yang dapat memicu eskalasi konflik.

Terkait dengan situasi ketegangan Laut China Selatan yang cenderung mereda dan membaik perlu terus kita pelihara momentum-nya agar tetap kondusif di-dalam mengakomodasi kepentingan kita bersama di kawasan ini.  Kita juga perlu terus mengajak China untuk membuka diri dan berkeinginan untuk bekerjasama dalam memperkuat arsitektur keamanan kawasan.  Hal ini telah dilakukan sejak Shangri-La Dialog 2015 dan saat Pertemuan  dengan Jenderal Fan Chang-long, beliau juga menyampaikan bahwa Laut China Selatan adalah kawasan damai.

Jenderal YNI Ryamizard Ryacudu juga warga Kopassus (Foto : id.beritasatu)
 

Menhan Mattis dalam sambutannya menyatakan sangat tersentuh dalam hubungannya dengan Ryamizard yang secara tulus telah mempererat hubungan pertahanan dengan AS. Komunikasi keduanya dari hati ke hati dengan suasana kekeluargaan dan persaudaraan yang mendalam sehingga dapat mencapai sasaran yangdiharapkan.  AS akan siap membantu apapun yang Indonesia perlukan untuk memperkuat kapasitas dan kapabilitas pertahanan Indonesia dalam mengantisipasi ancaman dan tantangan saat ini dan ke depan.

Dalam bilateral meeting, dibicarakan tentang keinginan AS agar Indonesia memberikan perannya dalam Indo Pasifik. Seperti dikatakan mantan Menhan Australia, menurut penulis memang Indonesia harus memahami pentingnya posisi geografis Indonesia dalam pergeseran model “Asia-Pasifik” yang lebih tua  kepada konsep ‘Indo-Pasifik’ yang diperluas secara geografis. Hal ini sebaiknya dikaji lebih dalam baik oleh Kementerian Pertahanan, Kemlu, dan Kementerian Perekonomian.

Selain itu AS juga berharap untuk sedapat membantu Idonsia dalam memperkuat Kemandirian Industri Pertahanan serta ingin menyediakan alutsista terbaik bagi Indonesia. Kita juga perlu menaruh perhatian khusus atas krisis Rohingnya di Rakhine State Myanmar.  Diperlukan langkah konkrit dan penangan bersama dikawasan yang tepat sasaran. Karena bila tidak ditangani dengan baik dan benar, para pengungsi yang rapuh ini, dapat direkrut oleh kelompok ISIS untuk memperkuat jaringannya.

Sementara itu Tim Anstra  melakukan loby dan pembicaraan dengan beberapa ekonom (Arthur) serta orang dengan Jared Khusner dalam membahas masalah-masalah lainnya dari komponen intelstrat. Sambutan dari pihak AS sangat positif, dimana mereka justru akan membantu penyelesaian beberapa masalah krusial di Indonesia. Dikatakannya bahwa berapa anggota kongres akan dikirim ke Indonesia sebagai dukungan politik AS terhadap Indonesia dan juga beberapa investor akan ke Indonesia. Message terakhir yang diterima, Menlu AS Pompeo yang mantan Direktur CIA ingin juga bertemu dengan Menhan RI.

Kesimpulan

Kunjungan kenegaraan Menhan RI Jenderal Pur Ryamizard Ryacudu beserta rombongan ke AS dinilai sangat sukses. Kunjungan itu dapat dikatakan merupakan titik tertinggi dalam hubungan bilateral kedua negara pada beberapa tahun terakhir. Keduanya adalah Jenderal yang berpengalaman dalam perang, sangat sadar dimana batas antara mati dan hidup hanya terpisah beberapa inchi. Dititik itulah, disamping kecintaan dalam membela negaranya masing-masing, keduanya menjadi sahabat. Old Soldier Never Die, They Just Fade Away.

Penulis menyarankan, agar pintu yang sudah terbuka melalui diplomasi pertahanan ke Amerika tetap dilanjutkan, dengan catatan Menhan/Anstra Kemhan tetap menjadi ujung tombak dalam melanjutkan dan mengarahkan baik tim ekonomi, politik dan sebagainya yang akan dikirim ke AS. Sebagai catatan yang sangat perlu diingat mereka masih kental dengan keraguan terhadap yang lain (Give a name that I can trust).

Ini bukan masalah siapa pejabat di Indonesia yang paling hebat, tetapi persoalan hati yang sangat jarang dipakai oleh orang Barat yang umumnya sangat objektif dan realistis, mereka baru percaya satu orang, Ryamizard dengan teamnya,  just trust me. Nah, kita dapat pintu ini, mari kita manfaatkan demi Indonesia tercintaMaaf kepada pimnas, hanya mengingatkan, misi selanjutnya bisa mubazir apabila keluar dari patern yang sudah ada, kira-kira begitu.

Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen www.ramalanintelijen.net

Mengurai Agenda Strategis AS di East Asia Summit 2018

$
0
0

November mendatang di Singapura akan digelar forum East Asia Summit (EAS) yang mana baik negara-negara yang tergabung dalam ASEAN maupun beberapa negara adikuasa (AS, Cina, Rusia, Jepang, India dan Australia) akan ikut serta. Terkait hal itu, politik luar negeri RI yang bebas dan aktif akan diuji dalam forum berskala inter-regional tersebut. Apalagi ditengah semakin menajamnya persaingan Global antara AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik.

Hal itu terbukti dengan terbentuknya persekutuan empat negara atau yang terkenal Quad Security Alliance, dimana yang dibentuk dengan dalih untuk membendung ekspansi Cina, baik dalam skala militer maupun secara ekonomi akibat skema Cina lewat The Belt Road Initiative (BRI). Ketegangan militer pun semakin menajam di perairan Laut Cina Selatan (LCS) dan Laut Cina Timur. Pada sisi lain, Cina dengan skema BRI-nya semakin memantapkan dirinya untuk mengembangkan skema kebijakan jalur sutra maritim, yang mana Cina menetapkan tiga rute tujuan. Rute Cina ke Asia Tenggara, Rute Cina ke Asia Pasifik Selatan, dan Rute Cina ke Eropa.

Kebijakan strategis kemaritiman Cina tersebut pada perkembangannya telah mengundang kekhawatiran AS dan sekutu-sekutunya seperti Inggris dan negara-negara Uni Eropa. Tren global inilah yang kemudian mendorong terbentuknya konsep Indo Pasifik yang mulai bergulir ketika pertemuan Shinzo Abe dan perdana menteri India di tahun 2007 silam. Di mana kemudian pada tahun 2017 dikembangkan lebih lanjut dalam forum EAS oleh Donal Trump di Manila, Filipina. Dua kejadian tersebut dengan jelas menggambarkan semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik.

Dengan latar belakang tersebut diatas, maka pertemuan pada forum EAS mendatang menjadi sangat sentral dan strategis. Maka dari itu, membaca manuver politik luar negeri AS dalam forum tersebut menjadi amat penting. Apalagi dengan perilaku politik Donald Trump yang sulit diprediksi dan berubah-ubah. Kadang bersikap frontal seperti secara tiba-tiba mendeklarasikan perang dagang dengan Cina. Atau melancarkan ancaman pada Korea Utara secara sanksi militer, ketika Kim Jong Un meluncurkan uji coba rudal balistik. Namun tiba-tiba pula, Donald Trump mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan pemimpin Korut di bulan Juni lalu. Yang mana hasilnya adalah tercapai kesepakatan damai untuk mengurangi ketegangan bagi kedua negara. Namun tiba-tiba pula, AS memberi angin kepada Jepang untuk meningkatkan agresifitas militernya dengan bersedia menjual sistem pertahanan radar Anti Rudal Aiges Ashore yang senilai 4 miliar dollar AS.

Sepak terjang Donald Trump tersebut bukannya tanpa skema dan pola. Justru memperlihatkan tujuan strategis Trump untuk mengintegrasikan aspek politik, ekonomi perdagangan dan militer sebagai satu kesatuan. Di sinilah sisi rawan dari konsepsi Indo Pasifik. Ketika konsepsi Indo Pasifik dikembangkan melalui kerangka ekonomi perdagangan dan pada saat yang sama persekutuan negara Quad dibentuk dalam kerangka pakta pertahanan militer. Bahkan Indo Pasifik dipalarelkan dengan manuver militer AS dengan US Pacific Command.

Dengan konstelasi yang demikian, sikap politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif harus menjadi gagasan yang mendasar dalam forum EAS tersebut. Maka itu, menteri luar negeri Retno Marsudi harus menyadari gagasan dasar mengapa Indo Pasifik dan Quad dibentuk. Bahwa ini merupakan agenda strategis AS dan Blok Barat untuk membentuk kekuatan ekonomi dan militer dengan dalih membendung Cina. Sehingga persekutuan Quad sepertinya dimaksudkan untuk membentuk SEATO gaya baru untuk kawasan Asia Pasifik. Jika demikian, negara-negara yang tergabung dalam ASEAN termasuk Indonesia, sedang berusaha diseret untuk masuk ke orbit pengaruh ke anggota Quad tersebut.

Menlu RI, Retno Marsudi (kumparan.com)

 

Terkait dengan hal itu, menarik untuk dipelajari lebih jauh konsepsi Menlu Retno Marsudi seputar gagasan Indonesia’s Indo Pacific Proposal. Jansen Tham melalui analisisnya dalam yang bertajuk What’s in Indonesia’s Indo Pacific Cooperation Concept menjabarkan Indonesia memandang Indo Pasifik sebagai “ruang hidup” dimana prinsip keterbukaan dan transparansi dalam menjalani kerjasama serta menghargai hukum internasional – dijamin.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah skema Indo Pasifik ini dapat menjamin hal-hal tersebut? Dalam pengertian menjadi forum kerjasama yang bersifat terbuka, setara, saling menguntungkan dan adil. Mengingat Indo Pasifik ini adalah manuver AS dalam rangka Asia Pacific rebalancing strategy.

Namun pada bagian lain, Tham menggarisbawahi Retno Marsudi selaku menteri luar negeri Indonesia menganggap ASEAN sebagai organisasi sekaligus kawasan regional yang penting bagi skema Indo Pasifik.

Global Future Institute (GFI) menilai bahwa gagasan Menlu Retno masih terlihat kabur dan belum fokus, namun penekanan beliau bahwa ASEAN merupakan organisasi dan kawasan regional yang penting bagi Indo Pasifik, harus menjadi dasar menyusun balancing strategy ditengah persaingan yang semakin menajam antara blok AS dan blok Cina. Dan dalam hal ini, Indonesia harus memainkan peran aktif mengingat kepeloporan Indonesia dalam pembentukan ASEAN di Agustus tahun 1967. Apalagi Indonesia merupakan negara terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Untuk itu, spirit konferensi Asia Afrika (KAA) 1955 dan Gerakan Non-Blok (GNB) di Beograd 1961 harus menjiwai politik luar negeri Indonesia dalam menyusun strategi perimbangan kekuatan di forum EAS 2018.

Dengan demikian forum EAS 2018 bisa jadi momentum Indonesia untuk mereaktualisasikan kembali politik luar negeri yang bebas dan aktif. Sehingga kita kembali benar-benar akan mendayung di antara dua karang dan bukannya di dayung oleh dua karang. Maka itu, optimisme Menlu Retno Marsudi tentang Indo Pasifik jangan sampai menjadi pintu masuk atau bahkan katalisator untuk menggiring ASEAN masuk dalam pengaruh orbit AS dan blok Barat (Quad).

Oleh: Hendrajit dan Rohman Wibowo, Peneliti Global Future Institute (GFI)

Source: The Global Review

Viewing all 116 articles
Browse latest View live