Tragedi kebrutalan militer Myanmar terhadap etnis muslim di Rohingnya terjadi lagi. Militer kembali mengusir masyarakat etnis muslim.
Mereka lalu mencari tempat ke negeri seberang, Bangladesh, namun nasib ibarat jatuh tertimpa tangga.
Penjaga perbatasan Bangladesh enggan menerima etnis muslim Myanmar dan meminta mereka agar kembali. Kondisi seperti ini masih saja terus terjadi hingga sekarang.
Apa yang membuat Myanmar kini menjadi ‘neraka’ bagi etnis muslim Rohingnya? Ada apa di balik peristiwa yang menjadi isu internasional saat ini?
Pada 17 Juli 2012 puku 19:13, halaman indonesian.irib.ir memposting artikel dengan judul “Agenda Tersembunyi Tragedi Rohingnya Myanmar” yang berisi wawancara eksklusif bersama Direktur Global Future Institute, Hendrajit, di Jakarta.
Ia mengatakan bahwa yang terjadi di Arakan ini bukan hanya Muslim Cleansing, tapi juga Buddha Cleansing.


“Ada permainan korporasi tertentu yang berkolaborasi dengan Junta militer, Myanmar” kata penulis buku “Tangan-tangan Amerika di Pelbagai belahan Dunia” itu.
Dalam wawancaranya tersebut, ia kemudian menjelaskan lebih gamblang mengenai adanya kolaborasi antara Junta militer dan korporasi asing.
“Pada tahun 1988, muncul sistem baru di Myanmar. Walaupun rezim otoriter militer yang memimpin, tapi Myanmar menggunakan sistem pasar. Ketika itu ada undang-undang baru yang namanya The Union of Myanmar Foreign Investment Law. Payung hukum ini adalah perlindungan terhadap sektor eksplorasi dan pengembangan sektor minyak dan gas alam yang melibatkan korporasi-korporasi asing”, jelas Hendrajitit.
Pertarungan China dan AS di Tanah Myanmar
Sejak 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Di sisi lain, rezim militer sejak era Ne Win hingga sekarang, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia.

Dari sinilah, terlihat sekali ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.
Hendrajit melanjutkan dengan mengutip pernyataan Presiden Myanmar, Thein Sein yang terlihat baginya adalah konyol.
“Udah saja Rohingnya itu diusir dari Myanmar”
Menurut Hendrajit, pernyataan yang menimbulkan masalah ini harus dilihat dari hilirnya saja,hulunya adalah adanya satu hal yang diincar di Arakan yaitu minyak dan gas alam.

Pada sisi pertarungannnya, Cina dan beberapa negara di luar AS dan Eropa Barat kelihatannya lebih unggul. Sementara AS lebih ketinggalan. Lalu, muncul adanya masalah yakni Muslim di Arakan cenderung memberi ruang bagi pendekatan symmetric Bill Clinton yang diterapkan Obama dan Hillary Clinton. Dengan dasar yakni,
“Konflik wilayah itu perlu advokasi hak asasi manusia nih, LSM, LSM perlu masuk”, jelas Hendrajit.
Maka, keberadaaan pintu ini, mereka masuk dengan memakai konflik Islam dan Buddha tersebut. Tapi tampak sasaran strateginya adalah sama yaitu penguasaan minyak dan gas bumi.

Strategi The Clash of Civilizations Memporak Porandakan Myanmar
Presiden Thein Sein yang menyatakan untuk mengusir Muslim Rohingnya dari Myanmar telah terjebak dalam strategi The Clash of Civilizations yang dibangun oleh barat. Pasalnya, ia seakan-akan melihat adanya konflik antara Islam dan Buddha yang saling bertempur, padahal keduanya adalah korban.
“Kalau kita lihat dalam konteks skema ini, modus dari rezim militer memproteksi korporasi model Total, Chevron, Petrochina, dan lain-lain. Itu caranya ekstrim seperti pembakaran desa-desa. Nah di sana, warga yang menjadi korban.

Cleansing yang paling efektif tanpa melibatkan penguasa adalah konflik agama. Kalau di Indonesia mungkin Cleansing agama tidak laku, tapi Cleansing suku sama dahsyatnya. Malah lebih efektif karena mereka (AS) paham betul masalah kesukuan di Indonesia lebih mudah disulut daripada masalah agama. Di Burma ini terperangkap masalah tersebut”, jelas Hendrajit.
Rezim Ne Win Hingga Aung San Suu Kyi, Rezim Kapitalis Global !
Rezim militer mulai dari Newin sampai sekarang ini seakan-akan sosialis negara justru pada dasarnya kapitalis negara. Sejatinya, dengan undang-undang The Union of Myanmar Foreign Investment Law, Myanmar pada dasarnya sedang mengarah pada pasar, tapi di bawah kendali penuh negara. Dan dia memproteksi korporasi-korporasi untuk berkolaborasi dengan penguasa. Tentu dengan segala bayaran sosialnya.

“Kebetulan korporasi yang masuk seperti Chevron, Total, Petro China dan sebagainya, isi kepalanya bukan hanya sebagai Company”.

Saat ini menjadi Penasihat Negara Myanmar sejak 2016. Pernah mendapat penghargaan Nobel Perdamaian. Tapi melihat pembantaian kaum Muslim di Rohingnya dia diam dan membiarkanya
Seperti juga Freeport, pikiran korporasi ini seperti negara. Jadi ketika menentukan lokasi seperti Arakan itu perhitungannya bukan feasibility study lahan bisnis saja, tapi geopolitiknya dihitung juga seperti komposisi populasi jumlah penduduk. Kalau itu masih wajar. Karena semua itu harus dimanage.
Tapi yang ada di pikiran opensif jahat korporasi itu adalah “Apa yang bisa dimainkan” dari fakta-fakta yang ada. Kasarnya, “kalau diadu domba mainkannya bagaimana?” Nah, komposisi-komposisi ini sudah dihitung oleh mereka. Selain perlunya politik pemilihan lokasi juga yang harus dilihat adalah Winning Coalition dari korporasi itu”, terang Hendrajit.

Jadi, jelas sekali rezim Myanmar hari ini adalah kelanjutan dari kiprah rezim-rezim sebelumnya. Mereka bukan saja diktator, namun rezim mereka terjebak dalam jebakan ideologis korporasi global AS dan Cina.

Militer-militer Myanmar menjadi bidak-bidak yang siap digerakkan oleh korporasi untuk meraih tujuan-tujuan jahat hegemoni sumber daya alam (SDA) di wilayah Arakan, Myanmar. Termasuk tanah yang saat ini diinjak oleh etnis Muslim di Rohingnya. [MO/Azm]
- Oleh: Muhammad Alauddin Azzam
- Source: Media Oposisi