Quantcast
Viewing all articles
Browse latest Browse all 116

Menyikapi Bahaya Proxy War di Indonesia

Indonesia sedang diambang proxy war karena saat ini sendi-sendi agama dan golongan sedang dibenturkan oleh pihak-pihak tertentu yang sedang mencari keuntungan terhadap pelemahaan kondisi bangsa Indonesia. Sebelumnya kita perlu tahu apa sebenarnya yang dimaksud dengan proxy war mungkin sebagian dari kita belum ada yang mengetahuinya, untuk itu saya perlu jelaskan terlebih dahulu, jadi proxy war adalah suatu perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Jadi paham ya, ini ibarat si A mau berkelahi dengan si B, tetapi si A ini pakai joki pihak C untuk berkelahi dengan si B, aseeem kan hehehe.

Dalam kondisi saat ini proxy war dapat terjadi melalui politik, kondisi ekonomi, sosial budaya, unsur agama, maupun hukum. Jadi perang ini mempunyai seorang sutradara dibelakang layar yang bermain secara halus, sehingga masyarakat pada umumnya hanya melihat aktor-aktor nya saja yang terlihat hiruk pikuk di media-media, sama seperti hal-nya kamu sedang nonton sinetron yang mengundang derai air mata dan menguras emosi.

Proxy war tidak hanya terjadi secara internal, tapi juga eksternal, artinya bisa saja suatu bangsa mencoba untuk “menjajah” bangsa lain karena bangsa tersebut memiliki kepentingan terhadap negara tersebut. Kata “menjajah” perlu saya tegaskan disini, karena segala bentuk penjajahan secara eksplisit sudah dilarang oleh dunia khususnya PBB. Seperti tertuang dalam Mahkamah Internasional (International Court of Justice) dalam keputusannya tanggal 21 Juni 1971, yang mengatakan bahwa “Dasar hak penentuan nasib diri-sendiri untuk segala bangsa yang terjajah dan cara-cara untuk mengakhiri dengan secepat-cepatnya segala macam bentuk penjajahan, sudah ditegaskan dalam Resolusi 1514 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB”.

Pada Artikel 5 dari Resolusi 1514 juga telah ditegaskan kepada negara-negara anggota PBB “Untuk menyerahkan segala kekuasaan kepada bangsa penduduk asli dari wilayah-wilayah jajahan itu, dengan tidak bersyarat apa-apapun, menuruti kemauan dan kehendak mereka itu sendiri dengan bebas, supaya mereka dapat menikmati kemerdekaan dan kebebasan yang sempurna.”

Lalu pada resolusi 2625 PBB pada tanggal 24 Oktober 1970, semakin menguatkan keputusan-keputusan terdahulu mengenai hak merdeka dan hak penentuan nasib diri-sendiri untuk bangsa-bangsa yang terjajah, juga mewajibkan segala negara untuk membantu mengakhiri semua penjajahan dan melarang semua negara memakai kekerasan untuk menghalangi bangsa-bangsa yang terjajah untuk mencapai kemerdekaan dan menentukan nasib diri mereka sendiri. Dan juga memberikan hak kepada segala bangsa yang terjajah untuk melawan segala macam bentuk kekerasan yang dipergunakan untuk menghalang-halangi hak mereka untuk menentukan nasib diri-sendiri dan merdeka, serta hak mereka untuk mendapat bantuan dunia dalam perjuangan ini.

Jadi jelas ya saat ini untuk dapat “menjajah” suatu negara harus dilakukan secara implisit atau kasat mata, tolong ini jangan disamakan dengan Tuyul dan Mbak Yul, ataupun Jin dan Jun dan yang sekroco-an dengannya, jadi suatu negara tidak boleh gegabah dalam melakukan serangan kepada negara lain, karena mereka bisa terkena sanksi dari PBB.

Siapakah yang dimaksud proxy war

Pihak yang terlibat dalam proxy war bisa banyak variabel, seperti melalui partai politik, organisasi-organisasi massa, atau juga bisa melalui negara-negara yang sedang konflik. Mereka sengaja dikerahkan oleh pihak sutradara untuk menciptakan kondisi-kondisi yang tidak harmonis seperti kerusuhan, demo anarkis, saling serang opini di dalam negara tersebut. Intinya biar negara itu mumet bin semerawut.

Contoh proxy war sudah banyak sekali pada negara-negara lain, salah satu contoh di Indonesia seperti kasus di Timor Timur yang pada awal-nya masuk ke dalam bagian NKRI, namun dalam perjalanannya terjadi pemberontakan separatis hingga pada 20 Mei 2002 mereka secara resmi terlepas dari bagian NKRI dan menjadi negara bagian Australia. Situasi konflik tersebut yang membuat Australia mencoba mendekati PBB dengan jalur diplomasi dan menggunakan isu Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai dalil-nya untuk melepaskan Timor Timur dari Indonesia.

Di Indonesia pun kasus proxy war semakin meningkat paska Pilpres 2014 kemarin dimana Jokowi berhasil memenangi Pilpres untuk menjadi Presiden RI, yang efek-nya masih terasa hingga saat ini dan membuat kondisi Indonesia terbelah dua. Kasus yang menarik saat ini juga terkait penistaan agama yang dilakukan oeh Ahok, masalah Ahok ini bisa jadi sebagai pintu masuk menuju hal yang lebih besar, dan kita bisa pastikan perang proxy war akan terus berlanjut hingga Pilpres 2019. Dan peristiwa 4 November kemarin bisa kita katakan sebagai awal dari permainan besar yang akan dimulai.

Tidak bisa dipungkiri kasus hiruk-pikuk di Indonesia khusus-nya Jakarta belakangan ini tidak terlepas dari campur tangan bangsa lain yang tidak ingin melihat Indonesia mandiri karena memiliki kepentingan terhadap kekayaan Indonesia ataupun dari pihak-pihak oposisi yang juga memiliki kepentingan untuk menguasai Indonesia. Seperti kita tahu bahwa saat ini Indonesia sudah tidak bisa lagi ditekan dalam negosiasi soal Freeport oleh AS, lalu penguasaan Blok Masela dimana pemerintah Indonesia menginginkan ekplorasi dilakukan didarat bukan dilaut.

Tujuan proxy War

Pada konflik Timor Timur kita bisa melihat bahwa Australia melihat potensi yang dimiliki Timor Timur berupa sumber daya alam yang melimpah ruah seperti minyak dan gas bumi. Jadi sudah bisa dipastikan bahwa Indonesia memilki banyak potensi yang membuat negara-negara lain berlomba-lomba untuk meng-eksplore kekayaan hasil bumi Indonesia, dan Timor Timur hanya salah satu dari sekian banyak potensi yang dimiliki Indonesia.

Dalam kasus Freeport, kitapun tahu bahwa papua memiliki potensi tambang emas yang sangat besar hingga saat ini dan itulah mengapa Amerika juga memilki kepentingan terhadap nasib Freeport. Selain itu Indonesia juga memiliki kekayaan laut yang sangat berlimpah, karena itulah pemerintahan Jokowi ingin menjadikan kawasan Natuna sebagai wilayah clean dari semua kapal asing karena wilayah ini merupakan wilayah hot spot strategis, kebijakan ini juga berdampak bagi negara seperti Cina dan Amerika karena ruang gerak mereka menjadi semakin sempit, dan pemerintah juga berencana untuk menempatkan pangkalan militer di Natuna, kepulauan Riau.

Dengan melihat kebijakan pemerintah yang membatasi laut kita dari pihak asing termasuk Cina didalam-nya, ini tentu menjadi hal yang lucu ketika sebagian besar orang mengkhawatirkan bangsa Indonesia akan dikuasai oleh Cina. Maka dari itu, betapa saat ini angin infiltrasi asing melalui proxy war sangat terasa kencangnya, dan perang ini dapat dipastikan akan terus berlanjut hingga Pilpres 2019 dimana mereka mencoba dengan segala daya dan upaya untuk menumbangkan kekuasaan Jokowi. Hal ini menjadi semakin leluasa karena Indonesia adalah negara demokrasi, dimana media massa ataupun pribadi diberikan kebebasan dalam memberikan opini, sehingga yang saat ini terjadi adalah perang opini di mesia sosial.

Jenderal Gatot juga pernah mengatakan bahwa umat Islam-lah yang menjadi benteng terakhir NKRI dalam acara ILC beberapa hari yang lalu, namun kita juga tahu bahwa kekuatan Islam juga menyimpan konflik internal karena paham sekterian dan radikalisme, hal inilah yang harus kita cermati bersama karena kekuatan ini sekaligus bisa menjadi kelemahan yang dapat di provokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab sehingga menjadi api yang mudah membakar persatuan NKRI.

Belajar dari kasus Suriah

Pada kasus Suriah pun kita dapat melihat terjadi-nya proxy war untuk membenturkan Sunni dengan Syiah, dimana kelompok Sunni berusaha menjatuhkan rezim Alwalid yang berasal dari minoritas syiah yang berlaku otoriter. Di Suriah pada waktu dulu kita dapat melihat bahwa Sunni adalah kelompok mayoritas namun elite kekuasaan berada ditangan keluarga Alwalid dari sekte Syiah. Tak bisa dipungkiri perang saudara yang terjadi di Suriah bukan murni konflik internal saja, namun juga ada campur tangan negara luar. Cara-cara yang dilakukan dapat dilakukan dengan program binaan negara asing, juga dalam memberikan pemahaman dari aspek ekonomi, sosial, politik, budaya dan agama, ini dapat terjadi disaat kita sedang studi di negara lain atau dalam kegiatan-kegiatan lainnya.

Kerusuhan di Suriah dipicu saat harga pangan melambung tinggi dan rezim Alwalid tidak bisa mengatasi krisis pangan, maka momentum inilah yang digunakan untuk melakukan revolusi rakyat oleh oposisi. Ini juga dipicu dari pergerakan-pergerakan revolusi yang terjadi di Mesir yang menjatuhkan Hosni Mubarak, Libia yang menjatuhkan Khadafi, hal-hal inilah yang memicu perlawanan rakyat di Suriah.

Ini yang harus kita semua waspadai terhadap gerakan-gerakan makar yang sudah dilakukan oleh beberapa organisasi-organisasi massa, juga dalam media sosial kita sering melihat teman-teman kita sudah masuk kedalam garis keras yang juga mengingingkan makar atau menjatuhkan pemerintahan saat ini. Kita harus bersikap jangan mau Indonesia seperti di Suriah-kan dengan politik adu domba yang dapat menciptakan kekacauan dimana-mana, jangan sampai di Indonesia terjadi konflik berkepanjangan dan terjadi perang saudara seperti yang sudah kita lihat di negara-negara konflik lain-nya dimana terjadi peperangan dan pembantaian.

Bagian terpenting!

Ingatlah negara kita Indonesia memiliki potensi yang begitu besar untuk unggul terhadap negara-negara lainnya, karena kita memiliki geografi daratan dan lautan yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), kita juga memilki Pancasila sebagai pedoman dalam hidup berbangsa dan bernegara, dan kita juga memiliki ke-bhinekaan yang begitu majemuk yang seharusnya kita pertahankan dengan sikap saling toleransi antar sesama.

Untuk itulah jangan sampai kita semua dengan begitu mudah-nya diprovokasi terhadap hal-hal yang sensitif terkait SARA, dengan marak-nya gelombang demo terhadap kasus Ahok yang menistakan agama, kasus penurunan patung Buddha Amithaba di Tanjung Balai Sumatera Utara, lalu belum lama ini terjadi pengeboman di Gereja Oikumene Samarinda yang korban-nya rata-rata balita. Ini merupakan suatu bentuk peperangan dengan membenturkan terhadap sendi-sendi agama yang merupakan hal sensitif di Indonesia.

Saya membayangkan kita semua itu seperti sebuah keluarga, dimana rumah dan atap kita adalah NKRI, lalu kelompok mayoritas sebagai Kakak tertua, dan kelompok minoritas sebagai Adik yang paling kecil. Dalam lingkungan keluarga, saya selalu diajarkan untuk saling menghormati terhadap masing-masing anggota keluarga, juga dalam hal-nya hubungan kakak beradik, dimana seorang Kakak sudah sepatutnya menjaga dan melindungi Adik-nya yang masih kecil dan lemah. Inilah yang seharusnya juga diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana mayoritas mengayomi minoritas di dalam suasana ke-bhinekaan.

Source: Seword.Com


Viewing all articles
Browse latest Browse all 116

Trending Articles